Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada tulisan: “Lebih baik motor lama sejuta kenangan, daripada motor baru sejuta per bulan.”
Ungkapan di atas, jika ditinjau dari sisi afdhaliyyah, mana yang lebih utama, maka itu tergantung orangnya. Ada yang mungkin lebih baik baginya bertahan dengan motor tuanya. Ada juga yang mungkin lebih baik membeli motor baru, untuk memenuhi keperluannya.
Namun yang perlu dicatat, sebagian kalangan awam menyamakan antara “pembelian secara kredit” dengan “riba”. Padahal ini dua hal yang berbeda, dan tidak talazum (saling terikat, tak terpisahkan).
Yang riba adalah, jika ada keterlibatan tiga pihak: (1) pembeli, (2) penjual, (3) penyedia kredit atau pinjaman uang. Misalnya pihak penjual menjual motor seharga 20 juta, kemudian pembeli yang tidak mampu beli cash menghubungi pihak penyedia kredit untuk menalangi pembayarannya, kemudian si pembeli akan mencicil biaya pinjamannya misalnya, dengan total sampai lunas lebih dari 20 juta. Nah kelebihannya ini adalah riba. Itu riba, karena faktanya dia pinjam uang kepada penyedia kredit sebesar 20 juta, dan harus melunasinya lebih dari itu.
Adapun kasus seorang penjual menawarkan barangnya dengan dua pilihan mekanisme: jika dibayar cash harganya 20 juta, sedangkan kalau cicil 2 tahun misalnya, harganya 30 juta. Ini bukan riba. Mayoritas ulama membolehkan adanya perbedaan harga antara cash dengan kredit, selama ketika akad terjadi, harga yang disepakati telah ditentukan. Dan di sini tidak ada riba, karena tidak ada praktik peminjaman uang, yang ada hanya transaksi jual beli dengan pelunasannya secara cicilan. Ini adalah mekanisme, yang secara regulasi diterapkan oleh perbankan syariah dan berbagai lembaga keuangan syariah lainnya.
Jadi pembelian barang secara kredit, tidak selalu jatuh pada riba. Dan selama transaksi jual belinya boleh dan sah, maka ia bukanlah hal yang tercela. Kita tidak layak mencela hal yang dibolehkan dan diizinkan oleh syariah.
Selain faktor riba, tentu yang perlu diperhatikan juga adalah faktor kemampuan finansial. Karena itu, baik perbankan ribawi maupun syariah, biasanya mengecek dulu kemampuan finansial calon nasabah sebelum melakukan transaksi kredit barang, agar tidak terjadi kredit macet.
Seseorang yang punya kemampuan finansial untuk mencicil harga barang setiap bulannya, tanpa membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup lainnya, tentu tidak masalah membeli barang dengan cicilan. Yang bermasalah, jika lebih besar pasak daripada tiang. Misalnya, total cicilan rumah, motor, ponsel, dll. mencapai 6 juta per bulan, sedangkan penghasilan totalnya hanya 7 juta per bulan, tentu ini berat sekali. Bagaimana dia bisa memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari, biaya air dan listrik, kuota internet, biaya pendidikan anak, dll.? Apalagi kalau ternyata cicilan per bulannya lebih besar dari penghasilan bulanan, ini jelas horor sekali.
Jadi, yang kemampuan finansialnya terbatas, sebaiknya menghindari membeli berbagai barang secara kredit, karena potensi kredit macet sangat besar, dan akan menyulitkan dan menyakiti banyak orang nantinya.
Adapun yang kemampuan finansialnya memadai, jika memang perlu, silakan saja membeli barang secara kredit, selama akad-akad muamalahnya sesuai syariah.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply