Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ibnu Al-Mulaqqin (Al-Mu’in ‘Ala Tafahuum Al-Arba’in, Hlm. 153, Maktabah Ahl Al-Atsar, Kuwait), saat menjelaskan Hadits ke-5 dari Al-Arba’un An-Nawawiyyah, menyatakan:
وكُلُّهُ صريح في ردِّ المُحْدَثَات؛ سواءٌ أحْدَثَها هو أو غيره، فكلُّ مَا خَرجَ على الشَّرع باطِلٌ لا عِبْرَةَ بهِ، فكُلُّ دليلٍ نافٍ لحكم ما ليسَ مِن شرعنا وليسَ عليهِ أَمْرُنا، وعُدَّ مِنَ المَنْهِيَّات: الطَّهارة بماء حرام أو نجسٍ، والصلاةُ بغير نيَّةٍ، وبدون استقبال القِبلة وباقي الشرائط، والصوم بغير نِيَّةٍ، والحج كذلكَ، والبيوع المنهي عنها: كالغرر، والنَّجش. والأنكِحة: كالشِّغار، والمُتعةِ.
Artinya: “Dan seluruhnya sharih (sangat jelas) menolak perkara-perkara muhdats dalam agama, baik perkara muhdats tersebut dibuat sendiri olehnya atau dibuat orang lain (dan dia melakukannya). Semua perkara yang keluar dari tuntunan syariat itu batil dan tidak diakui. Semua dalil menafikan hukum yang tidak ada dasarnya dari syariat kita dan tidak didukung oleh dalil apapun. Termasuk perkara yang dilarang adalah: thaharah dengan air yang haram atau najis, shalat tanpa niat, tanpa menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya, puasa tanpa niat, demikian juga haji. Demikian juga, jual beli yang dilarang, seperti gharar dan najasy. Dan pernikahan, seperti syighar dan mut’ah.”
Dalam Hadits ke-5 ini, disebutkan dua redaksi Hadits. Yang pertama, riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu:
مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا هَذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهوَ ردٌّ
Artinya: “Siapa saja yang membuat perkara baru dalam urusan agama kami ini, yang tidak ada dasarnya dari syariat agama ini, maka ia tertolak.”
Yang kedua, riwayat Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عليهِ أَمْرُنا فَهوَ ردٌّ
Artinya: “Siapa saja yang melakukan satu perbuatan, yang tidak didukung oleh dalil syariat, maka ia tertolak.”
Menurut Ibnu Al-Mulaqqin (Hlm. 153), sebagian orang yang melakukan perbuatan bid’ah, beralasan bahwa dia tidak membuat bid’ah tersebut, sedangkan yang dicela dalam Hadits “Man ahdatsa…” adalah orang yang membuat bid’ah tanpa ada pendahulunya. Argumen pelaku bid’ah ini kemudian dibantah berdasarkan Hadits “Man ‘amila ‘amalan…”, bahwa yang ditolak adalah seluruh perbuatan bid’ah, baik dia sendiri yang membuat-buatnya atau dia hanya mengikuti pendahulunya.
Ibnu Al-Mulaqqin juga menyatakan, “Dan Hadits itu secara sharih menolak seluruh bid’ah, dan setiap perkara baru yang dibuat-buat, yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.”
Namun tidak berarti semua perkara yang berkaitan dengan agama, yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau di masa shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, itu termasuk bid’ah yang dicela dalam Hadits ini. Ibnu Al-Mulaqqin (Hlm. 152) menyatakan, “Adapun turunan dari perkara pokok yang berasal dari syariat agama, hal itu tidak termasuk yang ditolak dalam Hadits ini, seperti: penulisan Al-Qur’an dalam mushaf, pembentukan dan penyusunan madzhab-madzhab, penulisan kitab-kitab nahwu, hisab, faraidh dan berbagai ilmu lainnya.”
Catatan:
1. Sayyid ‘Alawi As-Saqqaf, dalam “Mukhtashar Al-Fawaid Al-Makkiyyah” (Hlm. 21, Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah, Libanon), menyatakan:
فَكُلُّ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَو حَالٍ لَمْ تَشْهَدْ لَهُ أُصُولُ الشَّرِيعَةِ بِالصِّحَّة فَهُوَ بِدْعَةٌ مَرْدُوْدَةٌ، وَصَاحِبُهُ مَخْدُوْعٌ.
Artinya: “Setiap perkataan, perbuatan, atau keadaan, yang tidak dianggap sah oleh pokok-pokok Syariah, maka ia bid’ah yang tertolak, dan pelakunya telah tersesat.”
Dari penjelasan di atas, bid’ah dalam syariat yang ditolak, adalah setiap perkara yang dibuat-buat dalam agama ini, yang tidak didukung oleh dalil-dalil syariat dan konsep-konsep pokok dalam agama ini. Adapun perkara baru, namun secara umum ia didukung oleh dalil umum atau tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama, tidak dianggap sebagai bid’ah, atau kalau pun mau disebut sebagai bid’ah, ia hanya bid’ah secara bahasa, atau “bid’ah hasanah” sebagaimana istilah yang digunakan oleh banyak ulama.
2. Saya pernah menulis satu artikel tentang bid’ah syar’iyyah yang haram dan tertolak, dan bid’ah lughawiyyah (bid’ah secara bahasa) yang tidak ditolak oleh syariat, bahkan sebagiannya wajib hukumnya. Judul artikelnya, “Bid’ah Syar’iyyah dan Bid’ah Lughawiyyah”, yang saya muat di Majalah FIQIH Edisi 2.
3. Saya pernah menulis beberapa artikel tentang “bid’ah hasanah”, di antaranya, “Adakah Bid’ah Hasanah?” dan “Bid’ah Hasanah Tak Tercela”, dan keduanya dimuat ulang di buku saya yang berjudul, “Catatan Seputar Ilmu, Ulama dan Ikhtilaf Ulama”. Ringkasnya, istilah tersebut adalah istilah ilmiah yang digunakan oleh banyak ulama besar, untuk menyebutkan perkara baru dalam agama namun didukung oleh dalil umum dan tidak menyelisihi pokok-pokok agama. Sebagian ulama tidak menyebut perkara-perkara semacam ini sebagai “bid’ah hasanah”, karena ia sebenarnya memang bukan perkara bid’ah yang ditolak dalam banyak Hadits Nabi, dan kalau pun mau disebut dengan kata bid’ah, maka ia adalah bid’ah secara bahasa.
4. Sebagian orang mencela istilah “bid’ah hasanah” dan menganggapnya sebagai keburukan, tanpa menyadari bahwa ia adalah istilah ilmiah yang digunakan oleh banyak ulama besar, bahkan tanpa mengetahui definisi dari istilah yang dia cela tersebut. Orang seperti ini terlalu tergesa-gesa bicara, dan terlalu bernafsu untuk membantah, padahal ilmu masih mentah.
Di sisi lain, sebagian pengguna “bid’ah hasanah”, tidak memahami dhawabith (standar) dari istilah tersebut, sehingga dia pikir, semua inovasi dan perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah hasanah. Dia lupa, ulama yang mengemukakan istilah “bid’ah hasanah” juga menyebutkan ada “bid’ah sayyiah”, yang berarti ada perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini yang buruk, tercela dan sesat.
Dua contoh di atas, meskipun dari dua kalangan yang berbeda, namun punya kesamaan, yaitu sama-sama berbicara tanpa ilmu, dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 29 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 1 Februari 2022 M
Leave a Reply