Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang mustafti (orang yang bertanya persoalan agama), pertanyaan yang ia ajukan haruslah hal yang bermanfaat untuk akhiratnya, dan/atau dunianya. Tidak perlu bertanya hal-hal yang tidak jelas manfaatnya.
Imam Amir Asy-Sya’bi, salah seorang ulama tabi’in, pernah ditanya oleh seseorang, siapa istrinya Iblis. Beliau menimpali, “Saya tidak menyaksikan pernikahan mereka.”
Di lain kesempatan, ada juga yang bertanya tentang bagaimana cara menyela-nyela jenggot yang lebat saat berwudhu. Beliau menjawab, “Rendam saja ia sejak malam.”
Al-Qaradhawi pun, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya, Al-Fatwa Bayna Al-Indhibath Wa At-Tasayyub, pernah ditanya, siapa nama saudari Nabi Musa yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an. Beliau kemudian menanggapi, “Apa hubunganmu dengannya? Apakah anda ingin melamarnya? Anggaplah namanya Maryam, atau Zulaikha, atau Mariyah, apakah itu bermanfaat bagimu?”
“Allah tidak menyebutkan namanya kepada kita, ketika Dia menceritakan kisahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menjelaskannya kepada kita, siapa namanya. Lalu mengapa kita harus bekerja keras dan repot-repot mengetahuinya, sedangkan hal itu tidak bermanfaat bagi kita?”
Apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan secara ringkas, tanpa perincian, tak perlu kita perinci sampai membuat kita kelelahan, padahal itu tak bermanfaat untuk kebaikan akhirat dan dunia kita.
Banyak hal, yang seandainya kita tahu, tak ada manfaatnya. Maka, kita tak perlu memperpanjang bahasan dalam perkara-perkara semacam itu. Seorang muslim yang baik, hanya akan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk dirinya atau orang-orang selainnya.
Leave a Reply