Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sebagian orang, ketika dia menulis kesimpulan hukum dari satu dalil (entah Ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi), sebenarnya dia tidak menyimpulkan sendiri, tapi kesimpulan itu dia dapatkan dari penjelasan ustadznya. Dan penjelasan ustadznya tersebut pun, bukan dari kajiannya sendiri, namun dari penjelasan seorang syaikh senior (secara ilmu) yang dia ikuti kajiannya atau baca tulisannya, atau mungkin dari salah seorang ulama dari generasi lampau.
Namun, karena si fulan ini keliru memahami ungkapan “Ilmu itu adalah قال الله dan قال الرسول, bukan perkataan fulan dan ‘allan”, akhirnya dia langsung menyebutkan kesimpulan hukum dan menukil ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi, tanpa menisbatkan kesimpulan hukum tersebut kepada syaikh atau ulama yang berpendapat demikian.
Padahal ini berisiko, (1) Bisa jadi si fulan dan para pembaca merasa bahwa mereka bisa langsung memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa penjelasan dari ulama yang kompeten, dan (2) Orang-orang yang tidak senang dengan pendapat tersebut, kemudian mencela pendapat tersebut, padahal sebenarnya itu pendapat yang dikemukakan oleh ulama yang kompeten. Dia mencelanya, karena mengira itu hanya kesimpulan si fulan, padahal tidak.
Idealnya, dia katakan semisal, “Hukum perkara ini adalah bla bla bla, sebagaimana dijelaskan/difatwakan oleh Syaikh atau Imam Fulan di kitab xyz, dan dalilnya adalah…”. Silakan menyebutkan dalil, karena agama kita memang agama dalil, namun nisbatkan juga pendapat tersebut kepada yang berpendapat, sehingga semua bisa tahu, apakah kesimpulan itu dikeluarkan oleh ulama yang kompeten, atau oleh anak bawang yang tak paham apa-apa.
Leave a Reply