Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Siapa Yang Layak Disebut Ulama?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ulama adalah orang-orang yang mengenal (ma’rifah) terhadap syariat Allah ta’ala, mendalami diin-Nya (bertafaqquh fid diin), mengamalkan ilmunya berdasarkan petunjuk dan ilmu (bashirah), serta Allah karuniakan hikmah padanya. (Rujukan: Qawa’id fit Ta’amul Ma’al ‘Ulama, karya ‘Abdurrahman Al- Luwaihiq, hlm. 19)

Definisi di atas adalah salah satu definisi untuk ulama. Masih ada definisi-definisi lain, namun isinya kurang lebih saja dan saling melengkapi, dan definisi di atas termasuk yang cukup baik dan lengkap. Wallahu a’lam.

Dari definisi di atas, seseorang disebut ulama, jika memenuhi syarat:

1. Mengenal (ma’rifat) syariat Allah subhanahu wa ta’ala
2. Faqih dalam agama
3. Beramal dengan ilmunya sesuai petunjuk dari Allah dan bashirah dari-Nya
4. Mendapatkan karunia hikmah dari Allah ta’ala

Jika kita kerucutkan, maka bisa kita katakan, seseorang dikatakan ulama jika:

1. Memiliki pemahaman yang mendalam terhadap ilmu syariat
2. Beramal dengan ilmunya tersebut

Dari sini, bisa kita katakan, bahwa:

1. Orang yang punya pemahaman yang dalam terhadap ilmu- ilmu syariat, baik dengan cara mulazamah dengan masyayikh, dan/atau menempuh kuliah agama sampai level doktoral di Timur Tengah, dan/atau menghabiskan waktu menelaah kutub ulama-ulama terdahulu, namun tidak beramal dengan ilmu yang dimilikinya, atau malah menunjukkan pola pikir/pola sikap yang disepakati penyimpangannya dari manhaj yang Islami, maka ia tak bisa disebut ulama.

Paling banter, jika pun disebut ulama, ditambah dengan label setelahnya, yaitu ulama suu, atau ulama dunya, yang malah berkonotasi buruk, karena ia telah menjual agamanya demi harta dunia yang sedikit, ia menggadaikan akhiratnya, demi mendapatkan keuntungan sesaat dan akan hilang.

2. Orang yang kuat pembelaannya terhadap Islam, kalau ceramah dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu orang, mendirikan pesantren, dikenal sebagai tokoh Islam nasional, dan seterusnya, namun tidak mendalam ilmunya, dan tak punya kemampuan ilmiah di bidang fiqih, hadits, tafsir, ushul fiqih, atau cabang- cabang ilmu keislaman lainnya, maka ia juga tak bisa disebut ulama.

Paling banter, kita sebut da’i, atau secara ‘urf Indonesia, kita sebut ustadz, kiyai, dan semisalnya.

Untuk orang yang kedua ini, yang melibatkan diri dalam dakwah Islam, dan telah memberikan kebaikan bagi umat Islam, menyuruhnya berhenti berdakwah, tentu sikap yang tak bijak, dan juga tak sesuai dengan semangat Islam yang menjadikan dakwah sebagai karakter umat Islam. Yang penting diingatkan adalah, dakwah harus dengan ilmu. Intinya, silakan berdakwah, itu sangat baik, tapi ukur juga kapasitas diri.

Nasehat, jika isinya adalah hal yang jelas-jelas ma’ruf, dan dikenal oleh rata-rata kita, tentu sah-sah saja disampaikan oleh siapapun, ulama atau bukan ulama, bisa bahasa Arab atau tidak bisa. Bahkan, seorang anak kecil pun, yang tentu ilmunya belum seberapa, sah-sah saja menasehati seorang ahli fiqih besar untuk bertakwa. Toh, semua orang tahu, bahwa ketakwaan itu hal yang dituntut pada setiap orang yang beriman. Maka, menasehati orang lain untuk bertakwa, bisa dilakukan siapa saja.

Sebaliknya, ada juga hal-hal yang perlu pendalaman, penelaahan, kajian yang matang terhadap nash maupun waqi’. Nah, pada poin ini, tidak sembarang orang boleh berbicara, apalagi berfatwa, apalagi memvonis orang/pihak lain. Ini ranahnya orang-orang alim. Bukan wilayah orang kebanyakan.

Silakan berdakwah, namun perhatikan materi yang disampaikan, dan perhatikan juga kapasitas diri. Jangan sampai melampaui kapasitas. Apalagi sampai bermudah-mudahan mengeluarkan fatwa, atau vonis pada orang lain, yang ulama asli pun, sangat hati-hati dalam hal itu.

Leave a Reply