Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sekian tahun lalu, ada seorang teman yang berkomentar tentang seorang ustadz terkenal, bahwa ustadz tersebut lulusan teknik, apakah pantas bicara agama. Saya tanggapi, ustadz itu memang lulusan teknik, tapi beliau juga belajar ilmu syar’i secara non-formal, bahkan ketika kuliah S2 di Saudi (jurusan teknik juga), beliau juga talaqqi dengan beberapa masyayikh di sana. Jadi, insyaallah layak bicara persoalan agama.
Memang betul, bicara agama itu perlu ilmu. Namun, perlu dipahami, untuk ilmu syar’i, ia tidak hanya didapatkan melalui jalur kuliah formal. Ia bisa didapatkan melalui jalur non-formal, lewat talaqqi dengan para ulama dan masyayikh. Bahkan, saat ini, proses ‘mengambil ilmu dari ulama’ itu bisa didapatkan melalui jalur online.
Dan bagi yang memiliki ilmu dalam satu bidang, dia akan tahu kapasitas keilmuan orang lain ketika bicara bidang ilmu tersebut. Jika tampak, orang itu tidak menguasai hal yang dia bicarakan, maka tak ada gunanya deretan gelar akademik yang dia miliki.
Sebaliknya, jika tampak dia menguasai dengan baik ilmu tersebut, bahkan cukup mendalam, maka ilmu tersebut sudah menunjukkan kealiman pemiliknya, dan kita bahkan tak perlu peduli dia kuliah di mana, apakah kampusnya terkenal atau tidak, apakah dia strata 1, 2 atau 3, dan seterusnya, karena ilmu yang dia miliki menunjukkan kapasitasnya jauh lebih baik dari semua gelar dan kebanggaan artifisial tersebut.
Hal ini seperti penghormatan kalangan nahdhiyin terhadap kealiman Kiyai Afifuddin Muhajir dalam bidang ushul fiqih, padahal katanya beliau hanya pernah talaqqi satu kitab ushul fiqih saja semasa nyantri, dan beliau juga tidak pernah kuliah di timur tengah. Atau, kepada Gus Baha, yang kealimannya bahkan diakui para profesor doktor di negeri ini, padahal beliau tidak punya gelar akademik.
Dan sebagaimana maklum, agama ini agama dalil dan burhan, maka dalam setiap pendapat yang diajukan, yang dilihat adalah apa hujjah dan argumentasi yang dimiliki, bukan seberapa panjang titel yang dipunya. Karena itu, meski seorang profesor, jika berpendapat ngawur soal agama, ia boleh dibantah oleh lulusan S1. Meski lulusan S3 Al-Azhar Mesir, atau S3 Madinah, atau…, jika pendapatnya lemah apalagi menyimpang, boleh saja dikritik oleh lulusan madrasah ibtidaiyah yang sudah kenyang menelaah literatur ilmu syar’i.
Ketika sudah masuk ranah ilmu, maka biarkan ilmu yang berbicara, bukan lagi semua titel dan kebanggaan semu itu.
Leave a Reply