Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dalam kitab “Al-Khilaf Anwa’uhu wa Dhawabithuhu wa Kayfiyyatu At-Ta’amul Ma’ahu” dikatakan, salah satu khilaf yang tercela adalah khilaf yang melahirkan permusuhan dan perpecahan, dan itu biasanya karena motivasi pihak-pihak yang berbeda pendapat bukanlah untuk meraih kebenaran (al-wushul ilal haq) dari manapun datangnya kebenaran tersebut, namun lebih untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya dan sikap fanatisme butanya (ta’ashshub) kepada kelompok.
Orang yang jujur dalam kajiannya, dalam penelitiannya, sekaligus punya kemampuan ilmiah untuk meneliti, akan mudah baginya untuk rujuk pada kebenaran, meskipun kebenaran itu awalnya berada di pihak lawan diskusinya. Sebaliknya, pihak yang tak ingin mencapai kebenaran, dan hanya ingin memenangkan kelompoknya atas yang lain, akan sulit baginya untuk rujuk pada kebenaran. Baginya, kebenaran mutlak adalah pendapat kelompoknya, dan dia tidak akan pernah meninggalkan pendapat tersebut, meski jelas terlihat kesalahan dan kelemahannya.
Sikap seperti ini tak layak dipertahankan oleh seorang thalibul ‘ilmi. Kebenaran adalah kebenaran, dari manapun datangnya. Dan kesalahan adalah kesalahan, meski itu berasal dari orang yang kita cintai dan kagumi.
Karena itu, Imam Asy-Syafi’i, meski sangat menghormati guru beliau, Imam Malik, tetap saja beliau berani mengkritik pendapat Imam Malik yang dianggap keliru. Demikian juga, Imam Ahmad begitu memuji kualitas pribadi dan ilmu Asy-Syafi’i, namun beliau tak bersikap ta’ashshub pada Asy-Syafi’i. Jika pendapat Asy-Syafi’i terlihat keliru di mata beliau, beliau tak akan mengikutinya.
Demikianlah teladan para aimmah salaf, dan demikianlah harusnya kita bersikap.
Leave a Reply