Oleh: Muhammad Abduh Negara
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah Hadits dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ، فَاجْتَوَوْا المَدِينَةَ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. فَانْطَلَقُوا، فَلَمَّا صَحُّوا، قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ، فَجَاءَ الخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ، فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ، وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ، وَأُلْقُوا فِي الحَرَّةِ، يَسْتَسْقُونَ فَلاَ يُسْقَوْنَ.
Artinya: “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi kandang unta (zakat) dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat) tersebut. Setelah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membawa unta-untanya.
Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi menjelang siang. Beliau lalu mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” (Muttafaq ‘alaih, lafazh dari Imam Al-Bukhari).
Abu Qilabah, salah satu rawi dari Hadits ini, yang meriwayatkan dari Anas bin Malik, menyampaikan, bahwa mereka semua telah mencuri, membunuh, kafir setelah beriman, serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Namun di sini, kita tidak akan membahas persoalan seputar hukuman yang diterima oleh orang-orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah ini. Kita akan membahas hal yang juga tercantum pada Hadits di atas, yaitu seputar hukum air kencing unta, atau lebih luas lagi, hukum seputar air kencing hewan, apakah ia suci atau najis.
Sebagian ulama menyatakan Hadits ini menunjukkan sucinya air kencing unta, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang ‘Urainah untuk meminumnya saat mereka sakit. Menurut mereka, Hadits ini juga menjadi dalil atas sucinya seluruh air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan mengqiyaskannya pada unta yang memang termasuk hewan yang boleh dimakan dagingnya.
Ini merupakan pendapat Malikiyyah, Hanabilah, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Zufar dari kalangan Hanafiyah serta Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Al-Ishthakhri dan Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh An-Nakha’i, Al-Auza’i, dan Az-Zuhri.
Pendukung pendapat ini, juga menguatkan pendapatnya berdasarkan Hadits lain, yang statusnya juga Shahih, riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي، قَبْلَ أَنْ يُبْنَى المَسْجِدُ، فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu, sebelum Masjid (Masjid Nabawi) dibangun, shalat di kandang kambing.” (Muttafaq ‘alaih, lafazh dari Imam Al-Bukhari).
Hadits ini menjadi dalil atas sucinya kotoran dan air kencing kambing, karena kandang kambing tak mungkin bebas dari kotoran dan air kencing hewan tersebut. Seluruh kotoran dan air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya diqiyaskan pada kotoran dan air kencing kambing.
Dengan dua dalil di atas, yang keshahihannya tak perlu dipertanyakan lagi, mungkin kita akan berkesimpulan, seharusnya seluruh ulama sepakat pada pendapat ini, yaitu kotoran dan air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya, hukumnya suci, tidak najis. Seharusnya tak boleh ada pendapat yang menyelisihi dalil, setelah jelas keshahihan dalil tersebut.
Namun, dalam persoalan suci dan najisnya air kencing dan kotoran hewan ini, ternyata ulama tetap berbeda pendapat. Dan lahirnya perbedaan pendapat ini, ternyata bukan karena satu pihak beramal dengan Hadits shahih, dan pihak yang lain menyelisihi dalil. Perbedaan terjadi, ternyata karena perbedaan dalam memahami makna dari Hadits-hadits yang ada, yang secara umum, semua Hadits tersebut statusnya Shahih atau minimal maqbul (bisa diamalkan menurut standar ilmu Hadits).
***
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, serta Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiriyyah, menyatakan bahwa seluruh air kencing dan kotoran hewan hukumnya najis, baik yang boleh dimakan dagingnya, seperti unta dan kambing, maupun yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti keledai.
Mereka melandasi pendapatnya, dengan keumuman dalil-dalil berikut ini:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي المسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Artinya: “Seorang Arab badui kencing di masjid. Orang-orang berusaha menahannya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada mereka, ‘Biarkan dia, dan siramlah bekas air kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan tidak diutus untuk membuat kesulitan’.” (HR. Al-Bukhari dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena sesuatu yang besar (menurut mereka). Salah satunya disiksa karena tidak menjaga diri dari air kencing, dan satunya lagi karena suka melakukan adu domba’.” (Muttafaq ‘alaih, lafazh dari Imam Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Dua Hadits shahih di atas dan hadits-hadits lain yang semisal yang menunjukkan najisnya air kencing, mereka anggap tidak hanya terbatas pada air kencing manusia, tapi berlaku mutlak untuk air kencing manusia maupun hewan.
Yang juga menguatkan pendapat kelompok ini adalah Hadits riwayat Al-Bukhari dan lainnya, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tempat buang air besar, lalu beliau memerintahkanku (‘Abdullah ibn Mas’ud) membawakan tiga buah batu untuk beliau. Aku menemukan dua buah batu, dan aku mencoba mencari batu yang ketiga namun tidak menemukannya, sehingga aku mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian aku membawa semua itu ke hadapan Nabi, dan beliau mengambil dua buah batu itu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut, kemudian beliau berkata, ‘ini adalah riksun’.”
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, di kitab Shahih-nya, dinyatakan lebih jelas:
أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ ائْتِنِي بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ لَهُ حَجَرَيْنِ وَرَوْثَةَ حِمَارٍ فَأَمْسَكَ الْحَجَرَيْنِ وَطَرَحَ الرَّوْثَةَ وَقَالَ هِيَ رِجْسٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang air besar, lalu beliau bersabda, ‘Berikanlah saya tiga buah batu’, dan aku (‘Abdullah ibn Mas’ud) hanya mendapatkan dua buah batu dan kotoran keledai yang sudah kering, kemudian Nabi menerima dua buah batu itu dan melemparkan kotoran kering tersebut, seraya berkata, ‘dia adalah rijsun’.”
Kata ‘riksun’ dan ‘rijsun’ pada dua Hadits di atas, maknanya adalah najis. Dan kenajisan kotoran hewan ini berlaku umum untuk seluruh hewan, baik yang dagingnya tidak boleh dimakan maupun yang boleh dimakan.
Kesimpulan mereka, dari seluruh Hadits-hadits shahih di atas, air kencing dan kotoran seluruh hewan, tanpa kecuali, hukumnya najis.
Lalu, apakah mereka tidak menerima Hadits tentang penduduk ‘Urainah dan shalat Nabi di kandang kambing? Jawabannya, mereka tetap menerima Hadits-hadits tersebut, namun memahami maknanya secara berbeda.
Hadits tentang penduduk ‘Urainah, menurut mereka, tidak menunjukkan sucinya air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya. Hadits tersebut berbicara tentang pengobatan orang sakit. Dan pengobatan terhadap penyakit merupakan keadaan darurat, dan keadaan darurat membolehkan seseorang makan dan minum sesuatu yang haram yang mereka perlukan. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْه
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa saja yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’aam [6]: 119).
Sedangkan Hadits tentang Nabi shalat di kandang kambing, menurut mereka tidak menunjukkan sucinya kotoran kambing, karena masih ada kemungkinan kandang kambing tersebut, yang akan menjadi tempat shalat Nabi, telah dibersihkan dari kotorannya.
Meskipun argumentasi kelompok kedua ini, tetap dibantah oleh kelompok pertama.
***
Selain pendapat pertama yang menyatakan bahwa, air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya hukumnya suci, sedangkan yang tidak boleh dimakan dagingnya hukumnya najis, serta pendapat kedua yang menyatakan seluruh air kencing dan kotoran hewan hukumnya najis, ada juga pendapat ketiga. Pendapat ketiga menyatakan, seluruh air kencing dan kotoran hewan itu hukumnya suci, tidak najis, baik yang boleh dimakan dagingnya maupun tidak boleh dimakan dagingnya.
Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Dawud Azh-Zhahiri dan Asy-Sya’bi. Sebagian ulama menyatakan, ia juga merupakan pendapat dari An-Nakha’i dan Al-Bukhari.
Landasan utama dari kelompok ketiga ini adalah, bahwa hukum asal seluruh benda itu suci, sampai ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
Artinya: “Dan Dia (Allah) telah menundukkan untuk kalian, semua yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 13).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di bumi dan di langit seluruhnya untuk manusia, artinya kita boleh memanfaatkan dan menggunakannya. Karena itu, status asal suatu benda adalah suci, kecuali ada dalil yang menajiskannya.
Hadits-hadits yang digunakan oleh kelompok ketiga ini, sama juga dengan Hadits-hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Artinya, secara prinsip, tidak ada satupun dari mereka yang bersengaja meninggalkan atau mengabaikan Hadits shahih. Perbedaan mereka ada pada cara memahami Hadits-hadits tersebut.
Hadits-hadits tentang kenajisan air kencing, pada kasus kencingnya Arab badui dan siksa kubur akibat kencing, menurut kelompok ketiga ini, itu khusus hanya untuk air kencing manusia, bukan air kencing hewan. Pemahaman ini juga yang dipakai kelompok pertama, bahwa Hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk menajiskan air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya, karena kesucian air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya telah disebutkan dalam Hadits tentang orang-orang ‘Urainah.
Hadits tentang kaum ‘Urainah dan Hadits tentang shalatnya Nabi di kandang kambing, menurut kelompok ini, lagi-lagi menunjukkan sucinya air kencing dan kotoran hewan, baik yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak boleh dimakan dagingnya. Kelompok ketiga ini, mengambil kesimpulan yang lebih luas dibanding kelompok pertama, yang membatasi dalil tersebut pada kesucian air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya saja.
Sedangkan Hadits tentang Nabi yang tidak menggunakan kotoran keledai yang kering untuk beristinja, dan beliau membuangnya sembari berkata, bahwa itu riksun atau rijsun, menurut kelompok ketiga ini, tidak menunjukkan bahwa ia najis. Menurut mereka, itu hanya menunjukkan kotoran tersebut tidak baik untuk beristinja, bukan menunjukkan bahwa ia najis.
Hal ini berbeda dengan kelompok kedua, yang menyatakan ia dalil yang sangat jelas yang menunjukkan najisnya seluruh kotoran hewan, atau dengan kelompok pertama yang menyatakan ia dalil bahwa kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya (dalam hal ini, keledai), hukumnya najis.
***
Pembahasan ini sebenarnya jauh lebih panjang dari ini. Namun, tulisan saya yang singkat ini, semoga bisa memberikan sedikit gambaran kerumitan kajian fiqih, bahwa fiqih itu tak selalu berhenti pada shahih tidaknya suatu Hadits. Karena, seringkali, meskipun Hadits-haditsnya shahih, dan para ulama menerima Hadits-hadits tersebut, mereka tetap berbeda dalam memahami makna dan hukum yang dikandungnya.
Ini adalah hal yang wajar, dan bisa kita lihat dalam berbagai karya tulis ulama klasik maupun kontemporer. Ini juga merupakan salah satu sebab terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama.
Tulisan ini tidak sedang ingin menjelaskan, pendapat mana yang terkuat (yang rajih) dari pendapat-pendapat ulama di atas. Tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua memahami, bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama itu adalah hal yang wajar, selama semuanya masih berpijak pada dalil. Wallahu a’lam.
Selesai.
Rujukan Kitab Fiqih:
1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, karya Ibnu Rusyd
2. Al-Muhalla, karya Ibnu Hazm Al-Andalusi
3. Kifayatul Akhyar, karya Taqiyuddin Al-Hishni
4. Naylul Awthar, karya Asy-Syaukani
5. Bughyatul Mustarsyidin, karya ‘Abdurrahman Ba’alawi
6. Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq
7. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili
8. Al-Jaami’ Li Ahkamish Shalah, karya Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah
9. Mausu’ah Masaail Al-Jumhur Fi Al-Fiqh Al-Islami, karya Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i
10. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, karya Kumpulan Ulama di bawah supervisi Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Negara Kuwait
Leave a Reply