Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dalam madzhab Syafi’i, ada empat hal yang membatalkan wudhu, yaitu:
1. Keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur, kecuali air mani.
2. Hilangnya akal karena tidur, pingsan, gila, mabuk, dan lainnya.
3. Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan non-mahram.
4. Menyentuh kemaluan (qubul) manusia atau lubang duburnya, dengan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari-jari tangan.
Berkaitan dengan pembatal wudhu poin ke-3, ada syarat-syarat yang harus terpenuhi, agar ia dianggap pembatal wudhu, yaitu:
(1) Sentuhannya dengan kulit. Jika bersentuhan atau menyentuh gigi, kuku dan rambut, tidak batal wudhu.
Demikian juga, menyentuh bagian dalam mata dan tulang yang keluar dari kulit, menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, tidak membatalkan wudhu.
(2) Yang bersentuhan beda jenis kelamin. Tidak batal wudhu, jika yang bersentuhan sesama perempuan atau sesama laki-laki. Demikian juga, tidak batal wudhu karena menyentuh khuntsa (orang yang punya dua jenis kelamin), karena terdapat syakk padanya.
(3) Kedua belah pihak sudah besar, yaitu mencapai batas syahwat. Maksud batas syahwat ini adalah, seandainya orang yang normal melihatnya, muncul ketertarikan secara syahwat dan keinginan untuk menikahinya.
Jadi maksud “besar” pada poin ini, bukan baligh. Meskipun ia belum baligh, tapi sudah menarik secara syahwat, batal wudhu jika bersentuhan kulit dengannya.
(4) Kedua pihak bukan mahram. Jika bersentuhan dengan mahram, tidak batal wudhu.
Dan jumlah mahram ada 18 (delapan belas).
Tujuh mahram karena nasab, yaitu: ibu (termasuk nenek), anak perempuan (termasuk cucu), saudari perempuan, bibi saudari ayah (‘ammah), bibi saudari ibu (khalah), keponakan (anak dari saudara laki-laki), dan keponakan (anak dari saudari perempuan).
Tujuh mahram karena persusuan, dengan perincian sama seperti mahram karena nasab.
Empat mahram karena pernikahan, yaitu ibu mertua, anak perempuan bawaan istri, istrinya ayah (bukan ibu), dan menantu perempuan.
Selain pihak-pihak di atas, terkategori ajnabiyyah, bukan mahram, dan batal wudhu jika bersentuhan dengannya. Termasuk istri, dia bukan mahram, sehingga batal wudhu jika bersentuhan dengannya, menurut pendapat yang mu’tamad.
(5) Sentuhannya tanpa pembatas, seperti kain dan semisalnya. Jika dengan pembatas, tidak batal wudhu, meskipun pembatasnya tipis.
Wallahu a’lam.
Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 100-103, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.
Leave a Reply