Oleh: Muhammad Abduh Negara
4. Hanya berdebat dalam persoalan yang telah ada faktanya atau kemungkinan besar akan segera ada. Para Shahabat radhiyallahu ‘anhum hanya bermusyawarah (membahas masalah agama) dengan sesama mereka, pada persoalan yang sedang terjadi atau ghalabatuzh zhann akan terjadi.
5. Perdebatan tertutup lebih disukai dari perdebatan terbuka dan disaksikan orang banyak. Perdebatan secara tertutup, umumnya lebih bisa membuat pihak yang berdebat fokus pada tema, dan itu memudahkan pemahaman dan sampainya kebenaran.
Sebaliknya, perdebatan yang disaksikan orang banyak, lebih membuka peluang munculnya sifat riya, dan berusaha keras untuk membuktikan bahwa ia yang lebih unggul dalam berdebat, sehingga peluang berupaya meraih kebenaran dari mana pun datangnya sangat kecil.
6. Upaya untuk mencari kebenaran dalam perdebatan harus semisal orang yang sedang sibuk mencari hartanya yang hilang. Ia benar-benar mengupayakan mendapatkannya, dan ia tak peduli, kebenaran itu datang dari dirinya atau dari lawan debatnya, karena yang ia cari adalah kebenaran, bukan menang-menangan.
Ia menganggap lawan debatnya adalah orang yang membantunya mencari kebenaran, bukan musuhnya yang harus ia kalahkan. Dan ketika ia menemukan kebenaran dari lawan debatnya, ia gembira dan berterima kasih padanya, bukan malah mencela dan mengecamnya.
7. Mempersilakan lawan debat untuk berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari satu argumentasi ke argumentasi yang lain. Karena kebenaran yang dicari, maka setiap dalil dan argumen yang bisa mengarahkan kita pada kebenaran, harus diterima dan tidak ditolak.
8. Memilih berdebat dengan orang-orang yang memiliki keluasan dan kedalaman ilmu, sehingga bisa beristifadah (mengambil faidah) darinya.
Banyak orang yang tidak bersedia berdebat dengan ulama besar nan mendalam ilmunya, karena takut kebenaran akan muncul dari lisan ulama tersebut. Dia memilih berdebat dengan orang yang level keilmuannya rendah, dengan harapan mereka tak bisa mengalahkannya dalam argumentasi.
Jika delapan syarat yang disebutkan ini tak bisa dipenuhi dalam perdebatan, maka menghindari perdebatan jauh lebih baik dibandingkan terlibat di dalamnya, karena perdebatan yang tak memenuhi syarat ini, biasanya bukan karena Allah ta’ala dan tidak bertujuan sampai pada kebenaran, tapi hanya untuk unjuk kemampuan dan kehebatan saja, dan menunjukkan penyakit hati dari orang yang menyibukkan diri pada perdebatan semacam ini.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Ihya ‘Ulumiddin, karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Juz 1, Halaman 117-124, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus.
Leave a Reply