Oleh: Muhammad Abduh Negara
Talfiq madzhab yang biasa dibahas oleh ulama mutaakhkhirin adalah menggabungkan pendapat beberapa madzhab dalam satu amal pada persoalan yang masih saling berkaitan.
Kebanyakan ulama mutaakhkhirin mengharamkan talfiq madzhab karena dianggap mendatangkan perkara baru yang gambarannya belum pernah disampaikan para ulama terdahulu.
Misal dalam wudhu, seseorang mengikuti Asy-Syafi’i dalam persoalan bolehnya mengusap sebagian kecil rambut kepala saja. Sedangkan dalam urusan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan non-mahram mengikuti Abu Hanifah yang menganggapnya tidak membatalkan wudhu secara mutlak, atau mengikuti Imam Malik yang menganggapnya batal wudhu hanya jika disertai syahwat.
Ini talfiq dan haram menurut sebagian ulama, karena menggabungkan beberapa madzhab dalam satu persoalan fiqih yang saling berkaitan, dan diamalkan pada satu waktu. Wudhu orang di atas batal menurut Asy-Syafi’i, karena bersentuhan kulit dengan non-mahram. Juga tidak sah menurut Imam Malik karena tidak mengusap seluruh kepala, atau seperempat kepala menurut Abu Hanifah.
Namun sebagian ulama lain, dan didukung oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami”-nya, dan pendapat ini yang cenderung saya ikuti, talfiq madzhab dengan ketentuan tertentu, boleh hukumnya dan tidak terlarang. Karena ia taqlid, dan taqlid boleh hukumnya, dan ia tak dianggap mendatangkan hal yang baru.
Pada contoh kasus di atas, wudhunya sah. Dia mengusap sebagian kecil kepala saja, itu sah menurut Asy-Syafi’i, dan pada bagian ini dia bertaqlid pada sang imam. Sedangkan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan non-mahram, itu tidak membatalkan wudhu, bertaqlid pada Abu Hanifah. Taqlidnya pada Abu Hanifah pada bahasan itu, boleh. Kesimpulannya, talfiq semacam itu boleh saja. Karena ia hanya kumpulan taqlid kepada masing-masing imam mujtahid, di setiap bahasannya. Sama saja dengan orang yang taqlid ke Asy-Syafi’i dalam persoalan shalat dan ke Abu Hanifah dalam persoalan zakat.
Lalu, kalau ada yang bilang itu cenderung mengikuti hawa nafsu?
Kita jawab, tidak niscaya begitu. Jika dianggap begitu, khawatirnya malah mengarah pada tuduhan bahwa taqlid itu memang sepenuhnya mengikuti hawa nafsu dan tercela, karena talfiq itu turunan dari bahasan taqlid. Perbedaan pendapat ulama mutaakhkhirin hanya pada, apakah taqlid itu harus utuh pada satu madzhab dalam perkara yang saling berkaitan, misal bab wudhu harus sepenuhnya ikut imam A, atau boleh dipisahkan, misal dalam hal fardhu wudhu ikut imam A, tapi dalam soal pembatal wudhu ikut imam B.
Hanya saja, tetap ada ketentuan dalam kebolehan talfiq ini. Semisal memang ada hajat untuk melakukan talfiq. Juga talfiq tersebut tidak boleh memunculkan sesuatu yang buruk, yang disepakati ulama kemungkarannya. Misal orang yang melakukan talfiq dalam akad nikah, hingga dia kemudian menikah tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa mahar sekaligus. Ini jelas terlarang, karena penampakannya hampir tak ada bedanya dengan zina.
Leave a Reply