Oleh: Muhammad Abduh Negara
Banyak orang yang saat pindah afiliasi, madzhab atau komunitas, senang sekali mengkritik keras afiliasi, madzhab atau komunitas lamanya, dan cukup sering tanpa sikap adil, seakan-akan penyebab ia berada di afiliasi atau di komunitas lamanya hanya kebodohan atau kejahilan saja.
Karena itu, kita mungkin sering menemukan ‘mantan’ NU atau tradisionalis, yang “pindah” komunitas ke Salafi (varian apapun), membodoh-bodohkan dan mengejek amal dan paham kalangan tradisionalis. Seakan semua yang mereka amalkan dan pahami itu tanpa dasar sama sekali, hanya perbuatan bid’ah saja.
Sebaliknya, ‘mantan’ salafi yang kemudian “pindah” jadi tradisionalis, yang senang mengejek kalangan salafiyyin, sebagai kelompok yang tidak memiliki sanad ilmu, bodoh, tidak paham perkataan ulama, dan semisalnya.
Dua sikap di atas, jauh dari sikap adil dan inshaf, dan membuat kesan seakan ilmu dan pemahaman yang benar hanya ada di komunitasnya saja. Seakan kebenaran tak akan pernah mampir di komunitas lain.
Saya pribadi pernah ‘nyemplung’ pada tiga komunitas, yaitu NU tradisionalis, gerakan Islam transnasional HT, dan salafi. Saya tidak pernah mengatakan saya taubat dari salah satunya, atau menolak penuh pemikiran-pemikiran sebelumnya. Saya memandangnya lebih pada, bertambahnya ilmu dan wawasan, sehingga bisa memandang dari cukup banyak sudut pandang. Tentu, kecuali HT, karena secara administrasi, saya sudah resmi keluar. Tapi pandangannya pun, masih banyak yang bagus menurut saya.
Muhammadiyah, Masyumi dan semua anak ideologisnya, IM, dan jamaah tabligh, juga memberikan pengaruh, baik karena interaksi dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya, maupun dari berbagai referensi yang mereka tulis atau ditulis tentang mereka. Meski saya tidak pernah ‘nyemplung’ langsung di dalamnya.
Dan alhamdulillah, bagi saya, semua afiliasi dan komunitas di atas, semua punya kebaikan, dan masing-masing punya kelebihan, termasuk dalam tataran ide dan pemikiran, yang layak diapresiasi dan diperhatikan. Tugas kita hanya meramunya, memilih yang terbaik dari semua komunitas tersebut dalam setiap babnya, yang kemudian kita pilih jadi pandangan kita.
Saya bersyukur lahir dan tumbuh besar di lingkungan tradisionalis, sehingga saya bisa memahami dan mengenal fiqih Syafi’i dengan baik, kajian maupun kulturnya. Dan tidak terlalu tersibukkan dengan perdebatan antar afiliasi, karena di daerah saya, itu tak terlalu kentara.
Saya bersyukur mengenal HT, saat kuliah pertama kali, mengenal gagasan besar dan berkecimpung dalam berbagai aktivitasnya. Sehingga itu menumbuhkan kecintaan saya pada Islam, ghirah yang tinggi dan pembelaan yang kuat terhadap umat Islam, dan membuat hidup saya lebih punya tujuan, dari sekadar menjalani rutinitas kehidupan biasa.
Saya bersyukur mengenal salafi (sebagai pemikiran khas dan komunitasnya, karena ittiba’ salaf tentu lebih luas dari sekadar komunitas salafi), setelah cukup matang dalam wawasan dan pemikiran, sehingga saya bisa mengambil berbagai faidah dan ilmu dari mereka, tanpa ikut terjebak ke sikap mudah memvonis dan merasa benar sendiri, yang menjangkiti banyak dari mereka, terutama kalangan awamnya yang baru hijrah.
Benar kata para pendahulu kita, belajar dari banyak guru dan madrasah, akan membuat wawasan kita tidak sempit, bisa mengambil banyak faidah dari berbagai komunitas yang berbeda, dan bisa melihat dari banyak sudut pandang. Tentu, selama tujuan kita belajar, memang benar-benar untuk mencari ilmu dan kebenaran.
Saya sendiri, tentu tidak pernah memfinalkan apa yang saya pahami saat ini. Saya masih ingin terus belajar, membaca dan merenung. Karena kita hidup dengan ilmu. Ma’al mahbarah ilal maqbarah, kata Imam Ahmad. Imam Asy-Syafi’i yang sudah sangat alim saja, mengubah sebagian pandangannya saat di Mesir, di akhir kehidupan beliau, sehingga kita mengenal qaul qadim dan qaul jadid beliau, apalagi kita yang mencapai 1% ilmu beliau pun, tidak.
Leave a Reply