Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Tidak Boleh Ijtihad ketika Ada Nash

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ijtihad tidak diperkenankan ketika ada nash yang telah menjelaskan satu hukum, karena hukum yang ditetapkan oleh nash ini bersifat qath’i yaqini, sedangkan hukum yang didapatkan melalui ijtihad sifatnya zhanni, dan ijtihad yang zhanni tidak layak dibandingkan dengan dalalah nash yang qath’i.

Nash yang dimaksud di sini adalah yang mufassar dan muhkam. Dalalah lafazh dari sisi kejelasan makna yang ditunjukkannya, terbagi menjadi empat: zhahir, nash, mufassar dan muhkam.

Zhahir adalah yang maknanya jelas dari redaksinya, namun masih memungkinkan untuk dita’wil (bahwa makna yang dimaksud dari lafazh itu adalah makna yang lain).

Nash adalah yang maknanya lebih jelas lagi dibandingkan zhahir, dan konteks ucapan memang ditujukan untuk makna tersebut, namun juga masih mengandung kemungkinan ta’wil.

Mufassar adalah yang maknanya lebih jelas dari nash, dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil.

Muhkam adalah yang maknanya paling jelas, dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil maupun nasakh.

Ijtihad tidak diperkenankan pada mufassar dan muhkam. Sedangkan pada zhahir dan nash, masih diperkenankan, karena ia masih mengandung kemungkinan ta’wil.

(Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Ahmad az-Zarqa, Hlm. 147)

Catatan M4N:

1. Pembagian kejelasan makna yang ditunjukkan oleh lafazh menjadi empat: zhahir, nash, mufassar dan muhkam, adalah pembagian menurut Hanafiyyah, sedangkan menurut Syafi’iyyah dan jumhur, ia hanya terbagi dua, yaitu: zhahir dan nash.

2. Perlu dibedakan antara “nash” dalam arti nash-nash syariat (yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah), dengan “nash” sebagai salah satu dari dalalah lafazh (yaitu dalam pembagian: zhahir, nash, mufassar dan muhkam). 

3. Ijtihad berlaku pada dua keadaan:

(a) Ijtihad ketika ada nash (dalam arti: ayat dan Hadits) namun makna yang ditunjukkannya mengandung ta’wil. Pada penjelasan di atas, yaitu pada: zhahir dan nash. Ijtihadnya pada ranah mencari makna yang diinginkan oleh asy-Syari’ dari ayat al-Qur’an atau Hadits tersebut.

(b) Ijtihad pada perkara yang tidak disebutkan dalam nash. Pada konteks ini, ijtihad dilakukan dengan cara qiyas, istihsan, istishlah, dan seterusnya.

 

Leave a Reply