Oleh: Muhammad Abduh Negara
Islam sudah punya aturan lengkap untuk mengatur hidup manusia. Pondasi utamanya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Disokong juga oleh pondasi dalil lainnya (baik yang muttafaq ‘alayh maupun mukhtalaf fiih). Kemudian, para ulama, sejak zaman salaf, khalaf, hingga mu’ashirin, menyusun jutaan karya tulis hasil pemikiran mereka yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta disokong oleh dalil-dalil lainnya.
Islam ini sudah lengkap. Pondasi utama sangat kokoh dan bersifat ilahiyyah (yang tak mungkin keliru). Panduan praktisnya pun sangat lengkap, hasil pemikiran para pakar yang mendedikasikan seluruh umurnya untuk mencerahkan umat. Meskipun pemikiran ulama ini punya sifat manusiawi, yang mungkin keliru, namun kekeliruan ini pun biasanya sudah dikoreksi oleh ulama lainnya.
Ajaran Islam telah lengkap, termasuk pembahasan seputar toleransi dan intoleransi.
Islam jelas mencela kekufuran dan kesyirikan, bahkan menganggapnya kezaliman terbesar, yang membuat pelakunya kekal abadi di neraka. Namun, Islam mengharamkan umatnya untuk “memaksa” penganut agama lain masuk Islam. Mengajak orang masuk Islam itu dengan dakwah bil hikmah, bukan dengan paksaan. Islam juga memerintahkan kita berbuat baik kepada sesama manusia, muslim maupun non-muslim.
Adapun perang yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para shahabat ridhwanullahi ‘alayhim ajma’in, itu karena adanya pengkhianatan terhadap kesepakatan bersama, juga karena adanya upaya segelintir penguasa negeri tertentu yang menghalang-halangi sampainya dakwah Islam ke penjuru alam.
Kepada sesama muslim, para ulama bahkan mengajarkan untuk bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat ijtihadiyyah. Perbedaan pendapat semacam ini tak perlu disatukan, karena memang tak memungkinkan. Ini bisa dibaca misalnya, saat Imam Malik menolak permintaan Harun Ar-Rasyid yang ingin menjadikan Al-Muwaththa sebagai satu-satunya panduan resmi hukum negara.
Islam mengajarkan toleransi dan bersikap baik pada tetangga, tamu, orang yang ditemui, dan kepada sesama manusia secara umum, baik muslim maupun non-muslim. Islam tak mengajarkan penghancuran tempat ibadah agama lain, juga umpatan kebencian kepada penganut agama lain. Islam tak mengajarkan hal ini.
Namun, pada perkara-perkara yang jelas-jelas akan merusak masyarakat, Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, Islam tidak menoleransi perzinaan, perjudian, maupun peredaran miras. Ini jelas merusak dan harus dihilangkan, bukan untuk dipertahankan. Islam juga menolak penyimpangan perilaku, semisal LGBT. Penyimpangan semacam ini harus diluruskan, diperbaiki, bukan dibiarkan dengan alasan toleransi.
Toleransi Islam juga bukan dengan membiarkan umat Islam melanggar ajaran agamanya. Buka-bukaan aurat, khalwat dengan lawan jenis non-mahram, dan semisalnya, adalah pelanggaran ajaran Islam. Yang seperti ini harus ditegur dan diingatkan, bukan dibiarkan dengan alasan toleransi.
Meskipun begitu, amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam ada panduannya. Bukan dengan ngamuk-ngamuk. Para ulama telah membuat kaidah: menghilangkan kemungkaran tak boleh dengan cara mendatangkan kemungkaran yang serupa atau lebih dari itu. Menghilangkan kemungkaran harus dengan cara terbaik, yang bisa membuat kemungkaran itu hilang, sedangkan pelaku kemungkaran itu taubat dan kembali ke jalan yang benar.
Ini pun telah diajarkan Islam, dan telah dipahami oleh umat Islam. Jadi, tidak perlu mengajari umat Islam tentang toleransi dan intoleransi. Umat Islam sudah punya panduan sendiri dalam hal ini, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Leave a Reply