Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Ustadz Sunnah Mengajarkan Matn Abi Syuja’?

A closeup of a sleigh in the snow, Christmas decorative toy in the white background

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Saat ini ada kecenderungan sebagian asatidz yang disebut oleh penggemarnya sebagai “ustadz sunnah” membuka kajian fiqih menggunakan kitab fiqih Syafi’i, salah satunya dengan kitab “Matn Abi Syuja'”. Jelas ini ada sisi positifnya, karena minimal sang ustadz dan jamaahnya tak lagi alergi dengan kitab fiqih madzhab.

Bagi pelajar fiqih Syafi’i, tentu paham bahwa kitab seperti Matn Abi Syuja’ itu, fungsinya adalah membantu pelajar pemula untuk menghafal dan memahami berbagai bahasan (masail) fiqih yang penting sesuai standar madzhab Syafi’i. Dengan catatan atas beberapa pendapat yang tidak mu’tamad dalam kitab tersebut, yang biasanya dijelaskan dalam kitab syarah dan hasyiyah atas kitab tersebut.

Bagi yang ingin mengetahui dalil atas semua bahasan dalam Matn Abi Syuja’, bisa merujuk misalnya pada kitab ringkas, At-Tadzhib Fi Adillah Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib, karya Musthafa Dib Al-Bugha. Disebutkan di dalamnya dalil baik Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, maupun Qiyas.

Nah sayangnya, pada sebagian kajian “ustadz sunnah” tersebut, model kajiannya tidak seperti model kajian standar ini. Entah karena memang tak pernah mempelajari fiqih Syafi’i secara bertahap, atau terburu-buru melakukan tarjih tanpa alat yang cukup, atau tak paham ushul istinbath dalam madzhab Syafi’i, atau karena semuanya, kajian fiqih madzhab Syafi’i malah terasa seperti “menghakimi”-nya.

Mengkritisi pendapat dalam madzhab, atau memilih pendapat yang lain, itu sebenarnya tak masalah, jika anda memang memiliki cukup kemampuan untuk itu, atau memang ada hajat untuk itu. Tapi dalam konteks pengajaran kitab madzhab yang dasar, tujuan utamanya harusnya memahamkan isi kitab tersebut, dan memberikan ketenangan pada jamaah bahwa yang termuat di dalamnya itu ada landasan dalilnya. Bukan malah mengkritisinya dan menganggapnya lemah, di berbagai tempat. Apalagi jika metode tarjihnya acak-acakan, karena sang pengajar lemah ushul fiqihnya dan tak paham istidlalnya madzhab Syafi’i.

Jadinya, belajar fiqih Syafi’i ala tarjih mentah. Khawatirnya malah melahirkan jamaah yang sangar, merasa paham fiqih Syafi’i, dan merasa tahu semua kelemahan dalam madzhab tersebut.

Kalau begini, mending kembali ke habitat asal saja. Pakai Fiqih Sunnah, atau Shahih Fiqih Sunnah, atau Tamamul Minnah, atau semisalnya. Atau pakai Bulughul Maram, dengan syarah dan tarjih ala Syaikh fulan. Tidak usah memaksakan diri mengajar fiqih madzhab. Apalagi kalau dalam hal-hal penting, malah menunjukkan ketidakpahaman terhadap pendapat madzhab, namun dengan ‘pede’-nya mengkritisi. Kan lucu, mengkritisi, padahal memahami perkataan ulama madzhab saja masih keliru.

Silakan saja pakai tarjih ala ustadz fulan atau syaikh fulan. Tak perlu memaksakan diri ke fiqih madzhab, kalau malah ujungnya melakukan tarjih mentah. Yang penting, ajarkan sikap toleran pada jamaah terhadap perbedaan yang sifatnya ijtihadiyyah. Itu saja sudah cukup dan sangat bagus.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply