Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada orang aneh yang menyatakan, waqi’ itu artinya politik, yang kita tahu arah selanjutnya bagi kalangan apolitis ini adalah haram belajar waqi’, karena haram terlibat dalam politik. Padahal makna waqi’ itu adalah fakta, realita, hal yang sedang faktual saat ini, dan semisalnya. Dan pemahaman terhadap waqi’ ini jelas adalah hal yang perlu kita ketahui, ‘aqlan wa syar’an. Memangnya kita hidup di ruang kosong, tanpa ada apa-apa di sekitar kita, sehingga kita tidak perlu mengetahui apapun yang terjadi di luar sana.
Bahkan dalam konteks fatwa, seorang mufti wajib paham waqi’ atas perkara yang ditanyakan, baik tentang keadaan si mustafti, latar belakangnya, situasi dan kondisi yang memunculkan pertanyaan tersebut, dan semisalnya, agar fatwanya tidak asal-asalan. Ibnu Al-Qayyim dalam “I’lam Al-Muwaqqi’in” menyatakan, seorang mufti dan hakim, tidak mungkin bisa berfatwa atau menetapkan putusan dengan benar, kecuali dia memahami dengan baik fakta atau waqi’ yang ingin difatwakan atau ditetapkan putusannya, serta mengetahui hukum Allah ta’ala atas waqi’ seperti itu.
Itu juga yang dimaksud oleh para ulama dan pemikir kontemporer, yang menyebutkan tentang fiqih waqi’ atau istilah semisalnya. Pemahaman yang baik terhadap fakta terkini, baik global maupun lokal, akan membuat kita bisa menyikapinya dengan baik, dan membuat para ulama bisa menyajikan fatwa yang tepat. Betapa banyak fatwa yang tersebar saat ini, dikeluarkan oleh mufti tanpa pemahaman yang baik terhadap materi yang ditanyakan. Ini jelas taqshir dalam fatwa. Atau ada juga fatwa ulama yang terbatas pada waktu, tempat dan momentum tertentu, tapi oleh orang yang jahil terhadap dhawabith fatwa, dia bawa ke mana-mana, dan dianggap standar beragama yang tidak boleh diselisihi sama sekali.
Buruknya pemahaman terhadap waqi’ ini juga, yang menyebabkan ada seorang da’i yang nyinyir dan mencibir kalangan yang dia sebut sebagai haraki, saat kajian komunitasnya dibatalkan tiba-tiba oleh pemangku kebijakan. Yang membatalkan siapa, yang dinyinyiri siapa. Bahkan dia tidak paham sama sekali, kenyinyiran dan kejahilannya terhadap waqi’ itu, bisa membuat umat Islam dan dakwah Islam terancam mundur ke belakang.
Perlu kita beri catatan, paham waqi’ itu bukan berarti kita harus update terus berbagai berita terkini dan membicarakannya di mana-mana. Tentu tidak seperti itu. Dibandingkan melakukan itu, membaca Shahih Al-Bukhari, Tafsir Al-Qurthubi, ‘Ilal At-Tirmidzi, atau Al-Mughni Ibnu Qudamah, tentu lebih baik. Namun kita perlu paham gambaran besar dari waqi’ saat ini, agar kita tidak buta realita, sehingga kita salah menentukan, mana lawan mana kawan. Atau melakukan berbagai tindakan yang malah kontra produktif bagi dakwah Islam. Orang shalih dan alim, sekaligus mushlih, hanya karena beda afiliasi, terus-terusan dicela, sedangkan orang fasiq dan zalim, yang merugikan orang banyak, hanya karena duduk di kursi kekuasaan, selalu dipuji, dan tak pernah mendapatkan kritik sama sekali.
Paham waqi’, juga bukan berarti kita harus terlibat dalam dunia politik praktis, atau kampanye politik di mana-mana, atau mengubah majelis ilmu menjadi rapat politik. Tidak perlu itu. Setiap kita punya tugasnya masing-masing. Setiap orang ada perannya sendiri-sendiri. Tidak perlu diseragamkan. Namun dengan paham waqi’, kita bisa menempatkan diri dengan tepat. Jangan sampai ada yang sibuk mencela para ustadz yang aktif di parpol Islam, dengan menyebut mereka ahli bid’ah, penuh syubhat, manhaj IM (dengan konotasi negatif), khawarij dan semisalnya. Padahal dengan wasilah (salah satunya) para ustadz aktivis parpol ini juga, dakwah mereka mendapat dukungan dan difasilitasi dengan baik. Sedangkan partai politik yang jelas-jelas mengusung ide sekuler, bahkan mengarah anti Islam, tidak mendapatkan kritik sewajarnya, apalagi kepada kadernya yang duduk di kursi kekuasaan, yang ada malah dipuja-puji.
Jadi, jangan menolak satu istilah sebelum memahaminya dengan baik. Waqi’ itu terjemahnya bukan politik. Politik itu bahasa Arabnya siyasah, dan Ibnu Taimiyyah punya kitab berjudul “As-Siyasah Asy-Syar’iyyah”. Jangan juga menolak, hanya karena ustadz anda menolaknya, ini taqlid a’ma namanya. Apakah anda menganggap ustadz anda tidak mungkin salah? Jangan juga menolak, karena istilah itu digunakan oleh tokoh yang bukan berasal dari afiliasi anda. Sejak kapan kebenaran itu dilihat dari afiliasi A atau B?
Lawan dari fiqih waqi’ itu adalah jahil waqi’. Jahil terhadap situasi dan kondisi yang ada saat ini, sehingga muncullah pernyataan-pernyataan aneh, yang seakan keluar dari orang yang baru bangun setelah tertidur lebih dari seribu tahun lamanya.
Leave a Reply