Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dulu saat ada yang menyampaikan bahwa ulama empat madzhab mengharamkan laki-laki dan perempuan dewasa non-mahram bersalaman (kulit bertemu kulit), ada yang menyanggah, bahwa “utamakan adab sebelum ilmu”.
Dia menyatakan, tradisi salaman dengan non-mahram itu sudah biasa, dan tidak beradab kalau ada yang mengajukan salaman, kemudian kita tolak. Jadi, adab sebelum ilmu versinya adalah, tinggalkan fiqih dan tetaplah bersalaman dengan non-mahram.
Inilah pemahaman yang keliru tentang konsep “adab sebelum ilmu”. Pemahaman yang salah, membuat amalnya pun menjadi salah. Karena itu, sebelum bicara dan mengagungkan adab, ilmui dulu konsep “adab sebelum ilmu” tersebut.
Ada juga, yang mengulang-ulang ucapan “adab sebelum ilmu”, tapi dia tidak bisa beradab dan memberikan hak kepada ilmu. Dia begitu biasa meremehkan bahasan ilmu, selalu menganggapnya boleh-boleh saja (tanpa argumen fiqih sedikit pun), sekaligus suka mencela dan mengolok-olok pihak yang berbeda pandangan (bukan mengkritik secara ilmiah). Padahal Imam Malik rahimahullah ta’ala menyatakan, “Tidak ada perkara yang remeh dalam bahasan ilmu”.
Beginilah. Adab memang sangat penting. Tapi tanpa ilmu yang benar tentang konsep adab, ia kadang hanya menjadi dalih bagi seseorang untuk meremehkan ilmu. Wallahul musta’an.
Saya tetap menghormati sebagian ulama yang membolehkan bersalaman laki-laki dan perempuan non-mahram, meski pendapat mereka di bab ini, tidak saya ikuti. Mereka tetap ahli ilmu, tapi tidak semua pendapat ahli ilmu harus kita ikuti, apalagi jika itu dianggap sangat lemah oleh jumhur ulama.
Adapun contoh kasus di atas, orang yang bicara itu, tidak membahas kajian fiqihnya (karena dia juga tidak paham). Yang dia lakukan, hanyalah menggunakan dalih adab secara serampangan, untuk membenarkan kebiasaannya.
Leave a Reply