Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Syarah Hadits

Amal Tergantung Pada Niatnya

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Redaksi Hadits

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ – وَفِي رِوَايَةٍ: بِالنِّيَّاتِ –، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (رواه البخاري ومسلم).

Artinya: Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa saja yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan, atau perempuan yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan apa yang dia tuju.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Redaksi Hadits di atas, saya ambil dari kitab ‘Umdatul Ahkam, karya Imam Al-Hafizh ‘Abdul Ghani bin ‘Abdul Wahid Al-Maqdisi, yang diterbitkan oleh Dar Thaybah, Saudi Arabia, Cetakan Pertama, Tahun 2002. Adapun dalam kitab Al-Arba’un An-Nawawiyyah, karya Imam Al-‘Allamah Yahya bin Syaraf An-Nawawi, yang diterbitkan oleh Dar Al-Minhaj, Saudi Arabia, Cetakan Pertama, Tahun 2009, tertulis: وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, di awal Shahih Al-Bukhari, Kitab “Kayfa Kana Bad’u Al-Wahyi Ila Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”, no. 1, dan disebutkan juga oleh beliau di enam tempat lain di Shahih Al-Bukhari. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini di Shahih Muslim, Kitab “Al-Imarah”, no. 1907. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal.

Faidah 6: Memulai Penulisan Kitab dengan Hadits Niat

Saat memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ‘Umdatul Ahkam, Imam Ibn ِAl-Mulaqqin menyatakan bahwa Imam Al-Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi (penulis ‘Umdatul Ahkam) memulai kitab beliau dengan Hadits “إنما الأعمال بالنيات” karena beberapa alasan, yaitu:

1. Kitab ‘Umdatul Ahkam dimulai dengan bab (atau dalam istilah penulis: kitab) Ath-Thaharah, dan Hadits “innamal a’malu bin niyyat” berkaitan erat dengan thaharah, karena niat merupakan syarat sahnya thaharah, sehingga ia disebutkan di awal.

2. Mengikuti anjuran para ulama sebelum beliau, sebagaimana dinukil oleh Al-Khaththabi, bahwa para ulama tersebut menyatakan, “Siapa saja yang akan menulis sebuah kitab, hendaknya ia memulai kitabnya dengan Hadits ini (yaitu: Hadits niat), sebagai pengingat bagi para penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.”

Imam Al-Hafizh ‘Abdurrahman bin Mahdi, salah satu ulama salaf, berkata: “Siapa saja yang ingin menulis sebuah kitab, hendaknya ia memulainya dengan Hadits ini.”

3. Meneladani para ulama sebelum beliau, semisal Imam Al-Bukhari dan lainnya, yang memulai penulisan kitab Shahih-nya dengan Hadits niat ini.

Faidah 7: Beda “Sami’tu” dan “Haddatsana”

Hadits Niat dimulai dengan ucapan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu “سمعت رسول الله…” (Saya mendengar Rasulullah…). Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi, lafazh “sami’tu” adalah redaksi periwayatan yang tertinggi dan paling kuat kedudukannya, setelahnya adalah redaksi “haddatsana (حدثنا)” dan “akhbarana (أخبرنا)”. “Haddatsana” bisa diterjemahkan “menyampaikan kepada kami”, dan “akhbarana” bisa diterjemahkan “mengabarkan kepada kami”.

Sedangkan menurut Ibn Ash-Shalah, redaksi “haddatsana” dan “akhbarana” lebih tinggi dari “sami’tu” pada salah satu sisi, yaitu pada redaksi “haddatsana” dan “akhbarana” ada dalalah (petunjuk makna) yang menunjukkan syaikh (guru periwayat Hadits) meriwayatkan atau menyampaikan Hadits tersebut kepadanya, sedangkan pada redaksi “sami’tu”, tidak ada dalalah tersebut. Karena bisa jadi dia mendengar Hadits tersebut, tanpa kesengajaan dari syaikh untuk menyampaikannya padanya.

Faidah 8: Cakupan Lafazh “Amal”

Lafazh ‘amal atau dalam bentuk plural “a’mal” (الأعمال), digunakan untuk amal anggota badan (الجوارح) dan amal hati (القلوب), sehingga dikatakan “أعمال القلوب” dan “أعمال الجوارح”. Meski dalam benak kita, sering kita menganggap amal itu terbatas pada amal anggota badan, namun dalam istilah syar’i, ia mencakup amal anggota badan dan amal hati.

Sebagian orang mengkhususkan amal anggota badan pada anggota badan selain amal lisan. Dan ini keliru. Karena seluruh ulama sepakat bahwa lisan itu termasuk anggota badan, dan perkataan (القول) itu amal dari lisan.

Memang benar, kadang lafazh “qaul” dan “amal” itu jika disebutkan bersamaan pada satu tempat, kadang “amal” itu punya makna sendiri, dan “qaul” juga punya makna sendiri. Namun menyatakan “qaul” tidak termasuk amal, itu tidak benar.

Faidah 9: Makna Lafazh “Innama”

Lafazh “innama” (إنما), sebagaimana dalam Hadits “إنما الأعمال بالنيات”, bermakna hashr (batasan), yang berarti menetapkan hukum atas perkara yang disebutkan dan meniadakan atau menafikan perkara yang tidak disebutkan.

Karena itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berpendapat riba itu hanya terdapat dalam riba nasiah saja, mengikuti Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “إنما الربا في النسيئة” (Riba hanya terdapat pada nasiah). Beliau memahami lafazh “innama” pada Hadits tersebut menetapkan riba pada nasiah dan menafikan adanya riba dalam hal lain. Meski pendapat beliau ini dianggap keliru oleh para ulama, karena ada Hadits lain yang menunjukkan adanya riba fadhl. Namun faidah yang bisa diambil adalah, beliau memahami lafazh “innama” berfaidah hashr.

Lafazh “innama” ini kadang berfaidah hashr muthlaq (untuk semua kondisi), kadang juga berfaidah hashr pada tema tertentu saja (hashr makhshush). Yang membedakan adalah qarinah (indikasi) dan siyaq (konteks pembicaraan).

Contoh lafazh “innama” yang berfaidah hashr makhshush adalah firman Allah ta’ala: “إنما أنت منذر” (Engkau hanyalah pemberi peringatan). Zhahir dari ayat ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya disifati dengan “pemberi peringatan” saja, sedangkan Nabi memiliki banyak sifat lain, bukan hanya “pemberi peringatan”. Jika kita melihat qarinah dan siyaq dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa hashr (batasan) yang disebutkan ayat ini terkait dengan posisi beliau yang hanya bisa memberikan peringatan saja bagi orang yang mau beriman, dan beliau tidak mampu mendatangkan atau menurunkan hal-hal yang diminta oleh orang-orang kafir di ayat tersebut.

Adapun lafazh “innama” pada Hadits: “إنما الأعمال بالنيات” merupakan hashr muthlaq, karena itu ia berlaku pada semua kondisi, bahwa setiap amal itu nilainya tergantung niatnya.

Faidah 10: Sahnya Suatu Amal Tergantung Niatnya

Hadits “إنما الأعمال بالنيات” meniscayakan adanya redaksi penyambung yang tak disebutkan (idhmar), agar Hadits tersebut bisa dipahami dengan baik. Dan redaksi tersebut tentu bukan “wujud”, sehingga dikatakan, “Wujudnya amal itu tergantung dengan niatnya”, karena banyak amal yang terjadi (wujud) tanpa niat. Redaksi tersebut seharusnya adalah “shihhah”, “kamal”, atau yang setara dengannya.

Jika redaksi penyambungnya adalah “shihhah”, maka makna Hadits tersebut adalah, “Sahnya suatu amal tergantung niatnya”. Artinya, amal yang tidak disertai niat yang tepat, tidak ada nilainya dalam pandangan syara’. Sedangkan jika redaksi penyambungnya adalah “kamal”, maka makna Hadits tersebut adalah, “Sempurnanya suatu amal tergantung niatnya”. Artinya, amal yang tidak disertai niat yang tepat, tetap sah dan bernilai, namun kurang sempurna.

Makna “shihhah” ini yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i dan mayoritas fuqaha, sedangkan Imam Abu Hanifah dan yang sependapat dengan beliau memilih makna “kamal”. Dan perbedaan ini berkonsekuensi terjadinya perbedaan pandangan mereka tentang disyaratkan atau tidak disyaratkannya niat dalam keabsahan amal.

Sebagian ulama menjelaskan, bahwa Abu Hanifah dan para pengikut beliau, membedakan antara ibadah maqshudah (ibadah yang disyariatkan dilakukan karena zat ibadah itu sendiri) dengan ibadah wasilah (ibadah yang dilakukan sebagai perantara untuk ibadah maqshudah). Untuk ibadah maqshudah, seperti shalat, puasa dan haji, disyaratkan niat untuk keabsahan ibadah tersebut. Sedangkan untuk ibadah wasilah, seperti wudhu dan mandi, tidak disyaratkan niat, dan niat hanya sebagai penyempurna saja, untuk mendapatkan pahala.

Sedangkan sebagian ulama Hadits memilih makna “qabul”, sehingga makna Hadits tersebut menjadi, “Diterimanya amal tergantung niatnya”, dan ini berkaitan dengan pahala di akhirat.

(Bersambung)

Leave a Reply