Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Apa Makna Bid’ah Secara Syar’i?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Menurut sebagian Syafi’iyyah mutaakhkhirin, bid’ah syar’i sesuai yang ditunjukkan Hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ, adalah perkara baru yang berkaitan dengan agama yang menyelisihi dalil dan pokok-pokok syariah. Sedangkan perkara baru yang berkaitan dengan agama, namun ia tidak menyelisihi dalil bahkan sesuai dengan ruh syariah, ia bukan bid’ah secara syar’i, meskipun hal itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak ada di masa shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam “Al-Fath Al-Mubin Bi Syarh Al-Arba’in” (Hlm. 476, Dar Al-Minhaj, Saudi Arabia) menyatakan:

وشرعا: ما أحدث على خلاف أمر الشارع ودليله الخاص أو العام

Artinya: “Dan (makna bid’ah) menurut syara’ adalah, semua perkara baru yang menyelisihi perintah As-Syari’ dan dalilnya, baik khusus maupun umum.”

Adapun pembagian bid’ah yang masyhur, menjadi bid’ah hasanah dan sayyiah (yang merujuk pada pernyataan langsung dari Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i), maupun menjadi lima hukum yaitu bid’ah wajibah, bid’ah mustahabbah, dan seterusnya, yang dipopulerkan oleh Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, ini merupakan bid’ah secara bahasa. Bid’ah secara bahasa ini juga merujuk pada perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, نعمت البدعة هذه.

‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf berkata dalam “Al-Fawaid Al-Makkiyyah” (Hlm. 41, Muassasah Ar-Risalah, Libanon):

أما البدعة اللغوية فمنقسمة إلى الأحكام الخمسة:

Artinya: “Adapun bid’ah secara bahasa, ia terbagi menjadi hukum yang lima.”

Dan pembagian seperti ini, untuk memudahkan klasifikasi perkara baru yang berkaitan dengan agama, antara yang menyelisihi prinsip-prinsip syariah, yang tidak menyelisihi, atau bahkan yang mendukung keberlangsungan diin Islam. Karena itu, contoh bid’ah wajibah misalnya adalah standarisasi mushaf menjadi Mushaf ‘Utsmani untuk menghindari perpecahan kaum muslimin, atau disusunnya ilmu nahwu untuk menghindarkan umat Islam dari lahn dalam berbahasa Arab. Dua perkara ini, merupakan perkara baru yang berkaitan dengan agama, dan tidak ada di masa Nabi, karena itu secara bahasa ia bisa disebut sebagai bid’ah, namun hukumnya wajib karena ia sesuai dengan prinsip syariah dan bertujuan mempertahankan kelangsungan diin Islam dan umat Islam.

Sebaliknya, contoh bid’ah muharramah adalah paham jahmiyah yang menafikan sifat Allah ta’ala, atau qadariyyah yang menafikan ilmu Allah ta’ala pada perkara juz’iyyat, atau khawarij dan rafidhah yang mengafirkan banyak shahabat Nabi. Semua paham ini tidak ada di masa Nabi, juga tidak dikenal dan tidak diterima oleh para shahabat, karena itu ia disebut bid’ah. Dan hukumnya haram, karena ia bertentangan dengan dalil dan pokok-pokok syariah.

Dari tinjauan ini, sebenarnya perbedaan klasifikasi bid’ah, baik yang menganggapnya hanya satu saja, dan ia sesat dan haram, maupun yang membaginya menjadi dua atau lima, tidak terlalu berpengaruh. Karena bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah, bagi pihak yang menolak pembagian bid’ah, itu bukan bid’ah. Jadi ujungnya sama saja.

Perbedaan yang cukup tajam sebenarnya terjadi pada perkara yang disebut sebagai bid’ah idhafiyyah oleh Asy-Syathibi. Dalam sekian contoh yang disebutkan, para ulama Syafi’iyyah kebanyakan menganggapnya bukan bid’ah, atau kalaupun mau, ia disebut bid’ah hasanah secara bahasa. Hal ini karena menurut Syafi’iyyah, perkara tersebut tidak menyelisihi dalil dan pokok syariah, bahkan ia dinaungi oleh dalil-dalil yang bersifat umum, atau sesuai kaidah fiqih yang mu’tabar, meski tidak dilandasi oleh dalil spesifik.

Sedangkan sebagian kalangan lagi, menganggapnya bid’ah yang haram dilakukan, dan menuntut adanya dalil spesifik, agar perkara tersebut tidak disebut sebagai bid’ah.

Contoh perkara ini misalnya penentuan jumlah dan waktu dzikir tanpa keyakinan fadhilah dan kewajiban tertentu, ritual tahlilan, peringatan maulid Nabi, dan lain-lain.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply