Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sebagian warganet menganggap kemampuan membaca Al- Qur’an tidak ada hubungannya dengan kemampuan memimpin negara. Sebagian lagi menyatakan, KPU atau negara tak pernah mensyaratkan hal itu, jadi mengapa harus disyaratkan? Ada juga yang menyatakan yang diperlukan adalah kemampuan menerapkan Al-Qur’an, sembari “meremehkan” permintaan tes baca Al-Qur’an untuk pemimpin.
Perlu dicatat, saya bukan fanatis Jokowi maupun Prabowo. Keduanya pernah saya kritik. Kritik loh ya, bukan mencela apalagi mem-bully khas para buzzer politik, atau yang tertipu dengan gegap-gempita politik elektoral. Saya memberikan pandangan sebatas pemahaman saya terhadap Islam. Mungkin benar, mungkin salah. Namun sebisa mungkin saya berusaha adil dan proporsional, tanpa sedikit pun terpengaruh bias dukungan politik. Kita sadari, orang-orang yang terpengaruh bias politik ini, akan selalu berilusi bahwa calon yang ia dukung sangat hebat, sedangkan lawannya sangat payah. Tak akan kita dapatkan pandangan yang proporsional pada orang-orang seperti ini.
Kemudian, saya menggunakan sudut pandang Islam sebatas pemahaman saya. Tak ada sudut pandang yang lain. Dalam sudut pandang Islam saya, seharusnya pemimpin bagi umat Islam itu bukan hanya harus muslim, tapi harus menegakkan hukum-hukum Allah. Karena untuk itulah pemimpin diangkat. Memimpin dan meri’ayah umat dengan tuntunan Syariat Islam, sebagaimana disampaikan para fuqaha terdahulu.
Bahkan, sebagian fuqaha mensyaratkan imam a’zham (pemimpin tertinggi) itu harus seorang mujtahid. Dengan kriteria ini saja, bisa kita katakan, syarat “bisa baca Al-Qur’an” itu terlalu rendah. Artinya, jika syarat yang rendah seperti ini saja tak lulus, apalagi syarat yang lebih sulit. Dengan memakai kaidah, maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh, kita bisa katakan, jika bukan mujtahid, minimal bacaan Al-Qur’annya sesuai kaidah tajwid. Jika belum bisa menerapkan hukum Islam secara kaffah, minimal punya semangat memperjuangkan Islam. Jangan malah yang minimal ini pun dinihilkan dan diremehkan.
KPU tidak mensyaratkannya? Tak apa-apa. Kita tak bicara KPU. Kita bicara standar kita umat Islam dalam memilih pemimpin. Bahkan, seandainya KPU membolehkan seorang atheis menjadi presiden, kita tetap katakan haram baginya menjadi pemimpin bagi umat Islam.
Kalau ada yang menyatakan, usulan tes baca Al-Qur’an itu dimanfaatkan oleh kubu petahana, kita katakan, tak masalah. Kita sejak awal tak terjebak pada dukungan-dukungan fanatis pada salah satu calon. Seandainya memilih, itu hanya dalam rangka “memilih yang keburukannya lebih kecil dari dua calon yang sama-sama buruk”. Bukan karena yakin salah satu calon akan menjadi penyelamat bangsa ini dan bisa mengatasi semua persoalan. Ini terlalu berlebih-lebihan. Jadi, jika ada usulan yang bagus sesuai sudut pandang Islam, kita dukung, dari manapun datangnya.
Terakhir, hal terpenting dalam hal ini adalah mengajarkan umat bahwa sisi-sisi keislaman calon itu sangat penting, bahkan dalam hal yang dianggap kecil, seperti kemampuan baca Al-Qur’an, atau kemampuan menjadi imam shalat, dan lain-lain. Jika hal-hal kecil seperti ini saja diremehkan, bagaimana kita bisa bicara hal- hal yang lebih besar.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply