Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Syafi'i

Apakah Ibu Wajib Menyusui Anaknya?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

1. Pendapat yang difatwakan dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i, menyusui anak adalah hak seorang ibu, bukan kewajibannya.

Artinya, jika dia ingin menyusui anaknya, yang itu merupakan haknya, suaminya atau siapapun tidak boleh menghalanginya. Sebaliknya, jika dia tidak ingin menyusui anaknya, suaminya tidak boleh memaksanya, dan si suami harus mencari perempuan lain yang bersedia menyusui anaknya, baik dengan diupah maupun tidak.

2. Jika suami memaksa istrinya untuk menyusui anaknya, sedangkan si istri tidak bersedia, kemudian dia menolak perintah suami, dia tidak dianggap bermaksiat, dan tidak dianggap nusyuz kepada suami. Karena menyusui anak bukan kewajibannya.

3. Jika istri meminta upah dari suami untuk menyusui anaknya, wajib bagi suami memberikannya upah sesuai ‘urf yang berlaku.

4. Pengecualian, pada kondisi tidak ada perempuan lain yang bisa menyusui anaknya, maka wajib bagi si ibu menyusui sang anak, karena kondisi dharurah. Karena jika si anak tidak ada yang menyusui, itu bisa membahayakan kehidupannya.

5. Dalil yang menunjukkan menyusui adalah hak ibu, bukan kewajibannya, adalah firman Allah ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya: “Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Juga firman-Nya:

وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

Artinya: “Jika kalian berselisih, maka perempuan lain boleh menyusukannya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)

Dan firman-Nya:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Artinya: “Jika mereka (para ibu) menyusui anak-anaknya untuk kalian, maka berikanlah upah kepada mereka.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)

6. Sisi pendalilan dari dalil-dalil di atas adalah, pada firman-Nya: وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ, terdapat dua ihtimal (kemungkinan makna). Pertama, itu menunjukkan para ibu wajib menyusui anaknya. Kedua, para ibu itu pemilik hak penyusuan anaknya, bukan diwajibkan untuk menyusui si anak.

Seandainya redaksinya: وعلى الوالدات, maka hanya ada satu makna saja, yaitu para ibu wajib menyusui anaknya, dan tidak ada kemungkinan makna yang lain. Tapi redaksi dalam firman Allah ta’ala di atas, tidak seperti itu.

7. Firman-Nya: وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ, menjadi penguat kemungkinan pertama pada ayat sebelumnya, bahwa menyusui anak adalah hak ibu, bukan kewajibannya. Seandainya menyusui itu kewajiban ibu, tentu tidak layak dia berselisih pendapat dengan suami (ayah si anak) tentang penyusuan, dan tak layak baginya menolak menyusui anaknya. Dan seandainya menyusui itu wajib baginya, tentu suami (ayah si anak) tidak perlu mencari perempuan lain yang bersedia menyusui anaknya.

8. Firman-Nya: فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ, lebih menguatkan lagi kemungkinan pertama. Karena, jika menyusui anak itu kewajiban ibu, tentu dia tidak berhak untuk menerima upah. Tidak ada upah atas pelaksanaan sebuah kewajiban.

Dan ketika Allah ta’ala memerintahkan memberi upah untuk para ibu karena menyusui anak mereka, jika mereka meminta upah, maka itu menunjukkan dengan jelas bahwa menyusui anak itu hak si ibu, bukan kewajibannya.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Dr. Mushthafa Al-Khin, Dr. Mushthafa Al-Bugha dan Syaikh ‘Ali Asy-Syarbaji, Juz 2, Halaman 192-194, Penerbit Dar Al-Qalam, Damaskus, Suriah.

Catatan: Perlu dipahami, hubungan suami istri bukan hubungan saling menuntut hak dan kewajiban saja, tapi hubungan yang berisi pergaulan yang baik, saling memahami dan saling membantu dalam kebaikan dan ketaatan. Wallahu a’lam.

Leave a Reply