Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Apakah Setiap Perkara yang Fardhu ‘Ain, Wajib Dilakukan Oleh Setiap Muslim Mukallaf?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Sebagian orang mengira perbedaan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah adalah, fardhu ‘ain itu kewajiban yang dibebankan atas tiap individu muslim sedangkan fardhu kifayah itu kewajiban atas sebagian individu saja. Dan hal ini tidak sepenuhnya keliru. Dr. ‘Abdurrahman As-Saqqaf dalam “Al-Madkhal Ila Ushul Al-Fiqh” (Hlm. 38, Dar Adh-Dhiya, Kuwait) mendefinisikan keduanya dengan:

فرض عين: وهو ما يجب على كل مكلف… وفرض كفاية: وهو الذي إذا قام به بعض الناس سقط عمن سواهم…

Artinya: “Fardhu ‘ain adalah perkara yang wajib dilakukan oleh setiap mukallaf… Dan fardhu kifayah adalah kewajiban yang jika telah dilakukan oleh sebagian orang, kewajibannya gugur atas yang lain…”

Namun yang kurang dipahami oleh sebagian orang, ada perbedaan karakteristik kewajiban dalam fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, dan hal ini diisyaratkan misalnya dalam “Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i” (Juz 1, Hlm. 23, Dar Al-Qalam, Suriah), saat mendefinisikan keduanya:

الفرض العيني هو ما يطلب من كل فرد من أفراد المكلفين طلبا جازما… الفرض الكفائي هو ما كان مطالبا بفعله مجموع المسلمين، لا كل واحد منهم، بمعنى: أنه إذا قام به بعضهم كفى، وسقط الإثم عن الآخرين…

Artinya: “Fardhu ‘ain adalah perkara yang dituntut kepada setiap individu mukallaf dengan tuntutan yang bersifat tegas… Fardhu kifayah adalah perkara yang tuntutan melakukannya dibebankan pada keseluruhan muslimin, bukan untuk tiap individu mereka, yang berarti jika sebagian mereka telah menunaikannya maka itu sudah cukup, dan gugur dosa atas yang lain (yang tidak ikut mengerjakan)…”

Dari definisi di atas, kita bisa menemukan perbedaan karakteristik antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, yaitu fardhu ‘ain adalah kewajiban yang tuntutan untuk melakukannya dibebankan atas setiap individu mukallaf, yang berarti seandainya seluruh muslim mukallaf sedunia telah mengerjakan kewajiban tersebut kecuali si fulan, maka si fulan ini tetap wajib melakukannya. Sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban yang tuntutan mengerjakannya dibebankan atas kaum muslimin, namun bukan atas tiap individu mereka. Jadi yang diinginkan dalam fardhu kifayah adalah dilaksanakan atau ditunaikannya perkara tersebut, tanpa melihat apakah yang melakukan seluruh muslim mukallaf atau sebagiannya saja.

Sebagai contoh, penyelenggaraan jenazah yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkannya, merupakan perkara yang hukumnya fardhu kifayah. Yang dituntut di sini adalah, hal tersebut dilakukan oleh kaum muslimin sampai tuntas, yang berarti ada yang memandikannya, mengafaninya, kemudian menshalatkan dan menguburkannya, tanpa memperhatikan jumlah orang yang melakukannya. Sehingga meskipun yang melakukannya hanya sebagian kecil muslim saja, sedangkan sebagian besarnya yang mengetahui kematian si jenazah tidak ikut melakukannya, tidak masalah, dan kewajibannya telah gugur.

Contoh lain, hukum mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqih sampai seseorang mampu berfatwa dan menjawab berbagai persoalan kontemporer, adalah fardhu kifayah. Yang diinginkan di sini adalah, lahirnya para ahli fiqih di masa sekarang yang mampu berijtihad menjawab berbagai persoalan kontemporer yang dibutuhkan oleh umat Islam. Tuntutan kewajiban ini tidak dibebankan kepada seluruh muslim mukallaf, karena itu akan melahirkan masyaqqah (kesulitan) bagi banyak orang, dan juga akan menyebabkan rusaknya peradaban umat Islam, karena umat memerlukan ahli di berbagai bidang dan praktisi di berbagai sektor kehidupan, yang meniscayakan mereka harus bagi-bagi tugas. Jadi, jika sudah ada sekian orang yang berhasil menjadi ahli fiqih yang mampu menjawab persoalan kontemporer, dan ada sekian lagi yang sedang dalam proses belajar menuju keahlian tersebut, maka kewajiban fardhu kifayahnya sudah terpenuhi, dan gugur kewajibannya atas yang lain yang tidak ikut melakukan.

Itu fardhu kifayah. Lalu bagaimana dengan fardhu ‘ain? Apakah seluruh muslim mukallaf dituntut untuk melakukan semua kewajiban fardhu ‘ain? Jawabannya, secara garis besar, seluruh muslim mukallaf dituntut untuk melakukannya, berdasarkan definisi yang kita sebutkan di atas. Namun kalau kita melihat perinciannya, tidak sesederhana yang diduga oleh sebagian orang.

Dalam bahasan fiqih, kita mengenal istilah sebab (السبب), penghalang (المانع), dan syarat wajib (شرط الوجوب). Sebagai contoh, shalat maghrib hukumnya fardhu ‘ain, namun kewajibannya itu baru berlaku ketika matahari telah terbenam, yang merupakan sebab wajibnya shalat maghrib. Artinya, sebelum matahari terbenam, seorang muslim mukallaf tidak diwajibkan mengerjakan shalat maghrib. Salah satu konsekuensinya, dalam madzhab Asy-Syafi’i orang yang tidur sebelum shalat maghrib dan baru bangun setelah habis waktunya, apapun alasan tidurnya, dia tidak berdosa karena meninggalkan shalat maghrib pada waktunya, meskipun tentu ada kewajiban qadha shalat. Dia tidak berdosa, karena ketika dia mulai tidur, dia belum dibebani kewajiban mengerjakan shalat maghrib.

Contoh lain, perempuan yang haid tidak wajib shalat lima waktu, bahkan jika dia mengerjakannya secara sengaja dan tahu ketidakbolehannya, dia berdosa. Shalat lima waktu hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap muslim mukallaf tanpa ada khilaf di kalangan ulama, bahkan ia salah satu rukun Islam dan perkara yang ma’lum minad diin bidh dharurah (perkara yang diketahui semua orang, baik alim maupun awam), namun kewajibannya tidak berlaku pada perempuan yang sedang haid, karena ada penghalang (mani’) padanya, yaitu haid.

Contoh lain, zakat dan haji hukumnya fardhu ‘ain, dan termasuk rukun Islam. Namun tidak semua muslim mukallaf wajib menunaikan dan mengerjakannya. Ada syarat wajib yang harus ada pada seseorang, baru dia wajib mengerjakan keduanya. Salah satu syarat wajib dalam zakat adalah kepemilikan harta mencapai nishab (jumlah tertentu), yang berarti jika seseorang belum memiliki harta mencapai nishab, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Demikian juga haji, salah satu syarat wajibnya adalah memiliki kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah, di antaranya ketersediaan kendaraan dan perbekalan saat perjalanan, untuk kasus di Indonesia ini berkaitan dengan ONH (ongkos naik haji) dan segala tetek bengeknya, yang berarti jika seseorang belum memiliki kemampuan ini, dia tidak wajib mengerjakan ibadah haji.

Dari sini bisa diketahui, pemahaman sebagian orang bahwa saat dikatakan satu perkara itu hukumnya wajib berarti kewajiban itu dibebankan atas setiap muslim mukallaf tanpa kecuali, adalah pemahaman yang keliru. Kewajiban itu, jika pun ia benar-benar sebuah kewajiban, perlu diklasifikasikan dulu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kemudian, yang fardhu ‘ain pun, perlu melihat sebab wajibnya, ada tidaknya penghalang, dan terpenuhi tidaknya syarat wajibnya. Bahkan jika diulas lebih panjang, ada lagi pembagian kewajiban dari sisi waktu pelaksanaannya yang muwassa’ dan mudhayyaq, dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply