Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Aurat Besar Dan Aurat Kecil Pada Istimta’ Perempuan Haid

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Saat membahas kaidah fiqih “al-harim lahu hukmu ma huwa harimun lahu” (الحريم له حكم ما هو حريم له), harim memiliki hukum seperti perkara pokok yang ia menjadi harim untuknya, Al-Jauhari dalam “Al-Mawahib As-Saniyyah” menyebutkan contoh, dua paha yang menjadi harim bagi aurat besar, maka ia juga dihukumi haram.

Harim itu sendiri adalah sesuatu yang mengitari atau mengikuti hal lain, dan berdasarkan kaidah fiqih di atas, hukumnya mengikuti hal yang ia ikuti tersebut. Contoh lain untuk harim ini adalah, sedikit bagian dari kepala (tempat tumbuh rambut bagian depan), bagian rahang bawah dan sebagian telinga, merupakan harim dari wajah. Karena itu, mengikuti kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sesuatu yang tidak terlaksana kewajiban tanpa keberadaannya, maka ia juga menjadi wajib), wajib membasuh harim dari wajah saat membasuh wajah dalam wudhu, untuk memastikan seluruh wajah terbasuh sempurna.

Kembali ke soal aurat. Al-Fadani dalam “Al-Fawaid Al-Janiyyah” menyatakan, aurat menurut istilah syara’ digunakan untuk sesuatu yang wajib ditutup saat shalat, juga untuk sesuatu yang haram dilihat, dan juga sesuatu yang haram istimta’ (bercumbu dan bernikmat-nikmat) padanya pada keadaan tertentu seperti haid. Dan untuk yang terakhir ini, aurat dibagi menjadi dua, aurat besar (العورة الكبرى) dan aurat kecil (العورة الصغرى). Aurat besar adalah qubul dan dubur, sedangkan aurat kecil adalah selain keduanya yang berada di antara pusar dan lutut. Dan berdasarkan penjelasan di awal, aurat kecil ini adalah harim bagi aurat besar.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Al-Fawaid Al-Janiyyah Hasyiyah Al-Mawahib As-Saniyyah, karya Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani, Juz 2, Halaman 343-344, Penerbit ‘Ali Ridha Wa Akhawan, Rembang, Indonesia.

Leave a Reply