Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Bagaimana Cara Kita Bermadzhab

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Istilah “bermadzhab” atau “at-tamadzhub”, bisa menunjuk pada tiga hal, yaitu:

1. Bertafaqquh, atau belajar fiqih, mengikuti tradisi dan kurikulum satu madzhab fiqih tertentu. Misal, dia bertafaqquh dalam madzhab Syafi’i, dengan cara belajar kitab fiqih Syafi’i, misal dari “Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib”, kemudian lanjut ke “Fath Al-Qarib”, kemudian lanjut ke “Fath Al-Mu’in”, kemudian lanjut ke “I’anah Ath-Thalibin”, dan seterusnya.

2. Beramal mengikuti madzhab fiqih tertentu, terutama pendapat-pendapat yang dianggap mu’tamad (pegangan) dalam madzhab tersebut.

3. Memberikan fatwa dan menetapkan putusan dalam peradilan (ifta dan qadha), mengikuti pendapat madzhab tertentu.

Jadi ringkasnya, bermadzhab itu mencakup tafaqquh, amal serta ifta dan qadha. Dalam konteks tafaqquh, hampir tidak ada khilaf yang layak dianggap, tentang urgensi belajar fiqih mengikuti tradisi madzhab fiqih tertentu. Bahkan itu merupakan tradisi ulama dari zaman ke zaman, sebagaimana sudah saya tulis pada artikel “Fiqih Madzhab atau Fiqih Tarjih?”.

Lalu bagaimana untuk amal serta ifta dan qadha?

Untuk amal sendiri, kalangan mutaakhkhirin dalam madzhab Syafi’i, cukup longgar, terutama jika yang diamalkan tersebut masih merupakan satu pendapat di kalangan Syafi’iyyah. Al-‘Allamah Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi dalam “Al-Fawaid Al-Madaniyyah” (halaman 67), menyatakan bahwa pendapat-pendapat yang dhaif dalam madzhab boleh diamalkan untuk diri sendiri, namun tidak boleh difatwakan dan menjadi putusan hukum dalam peradilan. Yang dimaksud pendapat dhaif di sini, mencakup pendapat yang menyelisihi pendapat yang ashah, menyelisihi mu’tamad, menyelisihi pendapat awjah, dan menyelisihi pendapat muttajih. Sedangkan pendapat yang menyelisihi pendapat yang shahih, tidak boleh diikuti sama sekali, karena biasanya pendapat tersebut pendapat yang rusak. Demikian penjelasan Al-Kurdi.

Untuk istilah-istilah di atas, perinciannya mungkin tidak perlu dijelaskan di sini. Yang jelas, maksud Al-Kurdi adalah, pendapat-pendapat yang dianggap marjuh (lemah) dalam madzhab, selama tidak sangat lemah (diistilahkan dengan “khilaf ash-shahih”, menyelisihi pendapat yang shahih), boleh dijadikan pegangan dalam amal pribadi, orang yang menisbatkan diri pada madzhab Syafi’i, boleh mengamalkannya. Namun dalam konteks ifta (fatwa) dan qadha, tidak boleh memakai pendapat yang marjuh tersebut.

Imam Shalahuddin Al-‘Allai, sebagaimana dikutip oleh Al-‘Allamah Ahmad Bik Al-Husaini, dalam kitab “Tuhfah Ar-Ra’y As-Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-Taqlid” (halaman 81), menyatakan bahwa para fuqaha dalam kitab-kitab mereka, membolehkan seseorang berpindah madzhab dari madzhab imamnya, dalam satu dua persoalan dan mengamalkan pendapat di luar madzhab imamnya tersebut, selama hal itu tidak dalam rangka tatabbu’ rukhash (mencari-cari pendapat yang ringan tanpa hajat syar’i).

Jadi, dalam amal, bahkan kebolehannya bukan sekadar mengikuti pendapat yang tidak mu’tamad, namun juga mengikuti pendapat dari madzhab yang berbeda.

Adapun untuk ifta dan qadha, kalangan mutaakhkhirin Syafi’iyyah, cukup ketat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Kurdi di atas. Namun di kalangan fuqaha kontemporer, hal itu jauh lebih longgar. Sebagai contoh, Dr. ‘Ali Jum’ah, ulama Syafi’iyyah kontemporer, mufti Mesir periode lalu, dalam fatwa-fatwanya, kadang menguatkan dan memfatwakan pendapat yang tidak mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, bahkan memfatwakan pendapat dari madzhab lain.

Bahkan, umumnya fuqaha kontemporer, dari madzhab apapun, mereka biasa melakukan tarjih lintas madzhab. Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha, salah satu ulama Syafi’iyyah kontemporer, dalam salah satu muhadharah, menyatakan bahwa beliau saat menulis fiqih muqaran (perbandingan madzhab), kadang beliau merajihkan pendapat Malik dan Abu Hanifah, bahkan kadang Ibnu Taimiyyah dan Ibn Hazm. Demikian juga yang dilakukan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan banyak fuqaha kontemporer lainnya.

***

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam “Kayfa Nata’amalu Ma’a At-Turats Wa At-Tamadzhub Wa Al-Ikhtilaf” (halaman 69), menyatakan bahwa beliau sepakat dengan Asy-Syaukani untuk mendorong para ulama berijtihad, menolak pihak yang mewajibkan taqlid pada semua orang dan yang mewajibkan mengikuti pendapat satu imam madzhab dalam seluruh persoalan tanpa kecuali, dan beliau juga sepakat untuk menolak ditutupnya pintu ijtihad.

Namun beliau tidak sepakat dengan Asy-Syaukani dalam pengharaman taqlid pada orang-orang awam serta pengharaman bermadzhab bagi mereka. Bagi beliau, mengikuti madzhab salah satu imam madzhab itu boleh hukumnya. Boleh, tidak wajib, juga tidak haram.

Pandangan Al-Qaradhawi ini, mirip dengan pandangan Dr. Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana beliau kemukakan dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami”. Az-Zuhaili mengemukakan pendapat ulama yang tidak mewajibkan seseorang untuk terikat pada pendapat satu madzhab dalam seluruh persoalan, dan beliau mengisyaratkan mendukung pendapat tersebut. Di antara argumentasi yang beliau kemukakan:

1. Allah dan Rasul-Nya hanya memerintahkan bertanya pada ulama pada perkara yang tidak diketahui, tanpa menentukan nama ulama tertentu. Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan untuk mengikuti satu ulama tertentu, dan kita tak boleh mewajibkan hal yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Para shahabat dan tabi’in, mereka bertanya kepada ulama mereka yang mana saja jika ada hal yang tidak mereka ketahui, tanpa mewajibkan untuk mengikuti satu orang shahabi atau tabi’i tertentu. Dan perkara ini diketahui secara umum di kalangan mereka dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga ia dianggap sebagai ijma’ di kalangan mereka.

3. Adanya berbagai madzhab ulama itu adalah nikmat, rahmat dan kemudahan bagi umat. Sedangkan mewajibkan seseorang untuk mengikuti pendapat satu ulama saja dalam seluruh persoalan, malah akan membuatnya jatuh dalam kesulitan dan kesempitan.

***

Boleh disimpulkan, sikap terbaik dalam bermadzhab adalah bertafaqquh dalam madzhab tertentu, sampai memiliki pemahaman yang mendalam terhadap madzhab tersebut, bukan saja furu’, tapi juga ushul dan kaidah madzhab tersebut. Kemudian melakukan kajian komprehensif terhadap madzhab-madzhab lain, beserta dalil dan istidlalnya.

Dalam konteks amal, tentu orang yang bertafaqquh dalam satu madzhab, ia akan cenderung mengamalkan pendapat madzhab tersebut, karena ia tahu kekuatan dalil dan istidlalnya dengan baik. Namun, pada kasus-kasus tertentu, jika ia menemukan kelemahan pada pendapat madzhabnya, dan madzhab lain lebih kuat, ia akan mengamalkan pendapat yang lebih kuat tersebut, meskipun menyelisihi madzhabnya.

Demikian juga dalam ifta dan qadha, ia akan cenderung pada pendapat madzhabnya. Namun pada kasus-kasus tertentu, bisa jadi ia akan menguatkan pendapat dari madzhab lain, baik karena dalilnya lebih kuat, atau sisi maslahatnya lebih besar, dan lain-lain, yang dipelajari dalam dhawabith fatwa.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply