Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Syafi'i

Benarkah Keinginan Nabi Untuk Membakar Rumah Orang-orang yang Tidak Shalat Berjamaah Menunjukkan Hukum Shalat Berjamaah itu Fardhu ‘Ain?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, hukum shalat berjamaah (dalam shalat fardhu lima waktu) adalah fardhu kifayah, yang berarti shalat berjamaah sebagai sebuah syiar wajib dihadirkan di tengah-tengah kaum muslimin dan wajib ada yang menegakkannya, dan jika sudah ada sebagian umat Islam yang mewujudkannya gugur kewajibannya atas yang lain.

Imam An-Nawawi berkata:

لو أقام الجماعة طائفة يسيرة من أهل البلد وأظهروها في كل البلد ولم يحضرها جمهور المقيمين في البلد حصلت الجماعة ولا إثم على المتخلفين

Artinya: “Seandainya ada sekian penduduk di satu daerah menegakkan shalat berjamaah dan menampakkan hal tersebut (sebagai syiar) pada semua, sedangkan mayoritas penduduk di daerah tersebut tidak ikut hadir jamaah, shalat jamaahnya sah, dan tidak ada dosa bagi yang tidak ikut hadir.”

Sebagian ulama menyatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, dan mereka mengemukakan sekian dalil yang mendukung pendapat tersebut. Salah satunya adalah Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ اَلنَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لَا يَشْهَدُونَ اَلصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Artinya: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya benar-benar punya keinginan untuk mengumpulkan kayu bakar hingga terkumpul, kemudian saya perintahkan shalat dan dikumandangkan adzan, kemudian saya meminta satu orang untuk mengimami shalat, kemudian saya mendatangi orang-orang yang tidak mengikuti shalat tersebut, lalu saya bakar rumah mereka.” (Muttafaq ‘alaih)

Menurut mereka, keinginan Nabi untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau hadir shalat berjamaah ini menunjukkan shalat berjamaah itu wajib ‘ain hukumnya.

Lalu bagaimana jawaban Syafi’iyyah terhadap istidlal ini?

1. Hadits ini hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya keinginan membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah, dan faktanya Nabi tidak pernah membakar rumah mereka. Menurut An-Nawawi, seandainya hal ini wajib, tentu Nabi tidak akan meninggalkan keinginan beliau tersebut.

2. Kecaman dalam Hadits ini ditujukan pada orang-orang munafik di Madinah (nifak i’tiqadi), bukan kepada semua orang yang tidak hadir shalat berjamaah. Dan salah satu ciri orang-orang munafik tersebut saat itu adalah tidak mau shalat berjamaah. Selain itu, orang-orang munafik ini bukan hanya enggan untuk hadir shalat berjamaah, tapi memang tidak mau mengerjakan shalat meskipun sendiri.

Al-Mawardi menambahkan bahwa, pada dasarnya tidak boleh membakar rumah dan merampas harta seseorang karena tidak mengikuti shalat berjamaah. Hal ini menunjukkan keinginan Nabi tersebut lahir karena faktor yang lebih besar dari sekadar ketidakhadiran pada shalat berjamaah. Faktor yang mendorong keinginan beliau tersebut adalah perilaku orang-orang munafik di Madinah saat itu, dan keengganan mereka hadir shalat berjamaah adalah salah satu penampakannya.

Wallahu a’lam.

Rujukan:
1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Juz 4, Halaman 85-88, Maktabah Al-Irsyad, Jeddah, Saudi Arabia.
2. Al-Hawi Al-Kabir, karya Imam ‘Ali bin Ahmad Al-Mawardi, Juz 2, Halaman 301, Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.

Leave a Reply