Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Bolehkah Suami Bercumbu Rayu Dengan Istri Yang Sedang Haid Pada Bagian Tubuh Antara Pusar Dan Lututnya?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah Hadits shahih, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang halal ia lakukan dengan istrinya yang sedang haid, lalu Nabi bersabda:

لَكَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ

Artinya: “Boleh bagimu (bercumbu rayu) di luar izar (kain yang menutupi bagian tengah tubuh).”

Hadits di atas menunjukkan keharaman bercumbu rayu pada anggota tubuh di balik izar, dan itu menunjuk pada anggota tubuh di antara pusar dan lutut.

Namun ada Hadits lain, yang juga shahih, riwayat Imam Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

Artinya: “Lakukanlah oleh kalian apa saja (dengan istri kalian yang sedang haid), kecuali berhubungan badan.”

Hadits ini menunjukkan, yang diharamkan hanya jima’ saja, dan membolehkan selainnya, termasuk bercumbu rayu antara pusar dan lutut.

Al-Mahalli menyebutkan dua Hadits di atas saat membahas tentang ta’arudh (pertentangan makna) antar dua dalil khusus, dan menyebutkan ada khilaf ulama dalam melakukan tarjih antar dalil tersebut. Sebagian ulama mengharamkan bercumbu rayu pada anggota tubuh di antara pusar dan lutut, sebagai bentuk kehati-hatian. Sebagian lagi menguatkan kebolehannya, dengan alasan kebolehan bercumbu rayu itu adalah hukum asal pada perempuan yang telah dinikahi.

Ad-Dimyathi menyebutkan, contoh ulama yang mengharamkan hal tersebut adalah Asy-Syafi’i, dan yang membolehkan adalah Abu Hanifah.

Al-Lahji menyebutkan perkara ini saat membahas kaidah fiqih, “idza (i)jtama’a al-halal wa al-haram ghalaba al-haram” (إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام), jika sisi halal dan haram bertemu dalam satu perkara, yang dimenangkan adalah sisi keharamannya. Karena itu, pada kasus di atas, yang dirajihkan (dikuatkan) adalah hukum haram sebagai bentuk kehati-hatian, berdasarkan kaidah ini.

Wallahu a’lam.

Rujukan:
1. Hasyiyah Ad-Dimyathi ‘Ala Syarh Al-Waraqat, karya Al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad Ad-Dimyathi, Halaman 38-39, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Jakarta, Indonesia.
2. Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Al-‘Allamah ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 100-101, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.

Catatan Tambahan:

Pembahasan ini, bisa ditinjau dari dua cabang ilmu sekaligus, ushul fiqih dan qawa’id fiqhiyyah. Dari sisi ushul fiqih, ia membahas ta’arudh antar dalil dan cara melakukan tarjih saat dua dalil tersebut tidak bisa di-jama’ (dipakai keduanya) dan tidak diketahui yang mana datang (disampaikan) lebih dulu.

Dari sisi qawa’id fiqhiyyah, ia adalah contoh kasus berlakunya kaidah fiqih, “idza (i)jtama’a al-halal wa al-haram ghalaba al-haram”. Wallahu a’lam.

Leave a Reply