Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Dalil Yang Sama Bisa Diinterpretasikan Berbeda

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dalil yang sama, bisa diinterpretasikan berbeda, akhirnya kesimpulan hukum yang diambil pun berbeda.

Sebagai contoh, madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan tempat shalat ‘ied yang utama adalah di masjid, bukan di lapangan.

Madzhab ini bukan tak tahu riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat ‘ied di lapangan, kecuali saat hujan lebat. Mereka juga bukan tak tahu, Nabi memerintahkan laki-laki dan perempuan, tua dan muda, untuk berangkat ke lapangan.

Namun, mereka menginterpretasikan riwayat tersebut secara berbeda. Mereka melandasi pendapatnya dengan prinsip awal, bahwa masjid secara umum lebih utama untuk dijadikan tempat shalat, dibandingkan tempat lainnya, termasuk lapangan.

Kemudian, mereka menginterpretasikan bahwa pelaksanaan shalat ‘ied di lapangan adalah karena masjid tak cukup untuk menampung jamaah shalat ‘ied. Hal ini karena, saat itu penduduk kota dan masyarakat badui sekitar madinah, laki-laki dan perempuan, semuanya diperintahkan untuk shalat ‘ied bersama Nabi, hingga jumlahnya membludak, Masjid Nabawi tak cukup menampung mereka.

Ini didukung dengan kenyataan bahwa saat hujan deras, pelaksanaan shalat ‘ied dipindah ke masjid. Menurut mereka, alasan terkuatnya bukanlah sekedar karena hujan lalu pelaksanaan shalat ‘ied dipindah ke masjid. Namun, lebih karena saat hujan, penduduk luar kota tak bisa ikut shalat ‘ied, hingga jumlah yang shalat ‘ied bersama Nabi berkurang dan cukup ditampung di Masjid Nabawi. Karena itu, pelaksanaan shalat ‘ied dikembalikan ke tempat utama, yaitu masjid.

Contoh lain misalnya, adalah tentang hukum shalat jamaah. Madzhab Imam Asy-Syafi’i melandasi pendapatnya bahwa shalat lima waktu berjamaah tidak fardhu ‘ain adalah dengan hadits shahih tentang keutamaan shalat jamaah atas shalat sendiri, 27 atau 25 derajat. Pengutamaan ini menunjukkan bahwa yang ‘tidak utama’ pun, tetap dapat nilai positif, walaupun lebih kecil. Artinya, shalat sendirian boleh, namun kalah utama dibanding shalat berjamaah.

Kemudian, hadits tentang ancaman Nabi akan membakar rumah orang-orang yang tidak shalat berjamaah, menurut madzhab Asy-Syafi’i, ancaman itu ditujukan khusus untuk orang-orang munafik (i’tiqadi) yang memang terbiasa mangkir dari shalat jamaah. Artinya, ancaman itu lebih karena kemunafikan mereka, bukan sekadar karena tidak mengerjakan shalat jamaah.

Catatan:

Tentu argumentasi madzhab Asy-Syafi’i ini akan dibantah oleh pengikut pendapat lain. Perbedaan akan selalu ada, dan bukan di sini tempat untuk memperdebatkannya. Status ini sekadar ingin menunjukkan, bahwa dalil yang sama, bisa diinterpretasikan berbeda oleh fuqaha.

Maka, berhentilah tergesa-gesa menuduh orang yang pendapatnya berbeda dengan yang kita ikuti, telah menyelisihi dalil, tidak syar’i, tidak mengikuti sunnah, dan tuduhan-tuduhan lainnya.

Leave a Reply