Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Demokrasi Dan Pemilu

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Demokrasi bukan lahir dari rahim Islam. Terlebih konsep, “Boleh mengganti hukum Islam dgn hukum non-Islam (qawanin wadh’iyyah)”, jelas sangat berbahaya. Syaikh Ahmad Syakir, seingat saya punya komentar sangat keras tentang ini. Itu dari satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain, persoalan kebolehan terlibat dalam pemilu demokrasi maupun pemerintahan hasil demokrasi, itu persoalan yang perlu kajian lanjutan. Maksud saya, tidak otomatis, ketika dalam demokrasi ada payung hukum yang membolehkan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, serta mengganti hukum Islam dengan lainnya, artinya keterlibatan dalam “alam demokrasi” ini sepenuhnya batil.

Agar tak dianggap bernarasi sendiri, silakan tengok status saya beberapa waktu lalu yang menyebutkan contoh-contoh nama ulama yang membolehkan terlibat dalam pemilu demokrasi, dengan catatan, untuk kemaslahatan umat Islam. Tentu mereka yang berfatwa tersebut (yang jumlahnya banyak), tidak sedang menyatakan boleh menghalalkan yang haram, dan seterusnya.

Di sisi yang lain, karena bertujuan untuk kemaslahatan Islam dan umat Islam, tentu calon-calon yang dimunculkan harusnya memiliki sifat-sifat yang layak, semisal sifat ‘adalah, pemahaman agama yang baik, dan kecakapan dalam dunia politik dan pengurusan negara. Gerak-gerik mereka pun harus terus mendapatkan pengawasan dari Syura-nya umat Islam, agar tak melenceng.

Kita memang tak perlu muluk-muluk, orang-orang ini akan tiba- tiba bisa mengubah tatanan dunia ini 180 derajat, misalnya. Yang penting, keberadaan mereka, memang lebih maslahat bagi umat Islam dan dakwah Islam, dibanding jika yang ada di posisi tersebut, bukan mereka. Karena itu, umat Islam harusnya semakin teliti melihat rekam jejak seorang calon. Yang dilihat bukan hanya elektabilitas, kekuatan dana, dan alasan-alasan yang terlalu pragmatis lainnya. Tapi kualitas mereka, yang sudah saya sebutkan gambarannya di atas.

Dan yang terakhir, harapan saya sebagai bagian dari umat Islam, masing-masing kelompok yang punya pandangan sendiri- sendiri, dan saling bertolak belakang, perlu mengurangi intensitas “pertikaian” di tema itu. Boleh tidaknya ikut pemilu, selama untuk kemaslahatan Islam, itu bukan perkara ushul, bukan perkara qath’i, itu perkara ijtihadi.

Di sisi yang lain, para politisi yang (merasa) mewakili umat Islam, kita juga harapkan benar-benar mau mendengarkan aspirasi umat Islam. Jangan asyik dengan kalkulasi politik belaka, tanpa memperhatikan keinginan umat yang semakin mengental akan hadirnya Islam yang lebih kokoh di negeri ini.

Leave a Reply