Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Ikhtilaf yang Tercela

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Perbedaan pendapat atau ikhtilaf itu berbeda-beda. Ada yang diizinkan oleh Syariah bahkan menjadi rahmat bagi umat, ada juga yang tercela dan diharamkan. Kali ini kita akan membahas beberapa ikhtilaf yang tercela dan diharamkan. Tulisan ini utamanya merujuk pada kitab “Al-Khilaf, Anwaa’uhu Wa Dhawaabithuhu Wa Kayfiyyah At-Ta’aamul Ma’ahu” karya Syaikh Hasan ibn Hamid ibn Maqbul al-‘Ushaimi. Berikut penjelasannya:

1. Ikhtilaf orang-orang Kafir

Ini adalah seburuk-buruknya ikhtilaf yang tercela, karena orang-orang kafir menyelisihi ajaran Islam dari pokok diin Islam tersebut. Mereka tidak beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-Rasul-Nya dan kitab-kitab yang diturunkan-Nya, padahal inilah pokok dan inti diin Islam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ

Artinya: “Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran, dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (QS. Al-Baqarah [2]: 176)

Orang-orang kafir itu menjadi tercela bahkan sangat tercela dan telah menyimpang sejauh-jauhnya karena mereka menyelisihi pokok-pokok ajaran Islam, mengingkari Allah dan Rasul-Nya serta Kitab yang diturunkan-Nya. Namun, hari ini sebagian umat Islam seakan menoleransi kekafiran orang-orang kafir, bahkan sebagian yang mengaku Islam marah ketika dikatakan orang-orang kafir itu akan celaka dan disiksa di Hari Pembalasan jika mereka masih bertahan dengan kekafirannya. Cara berpikir seperti ini jelas bukan berasal dari Islam, mereka telah terpengaruh paham pluralisme agama akut, hingga meremehkan bahkan meniadakan jurang pemisah antara iman dan kekufuran.

2. Ikhtilaf para pengikut hawa nafsu dan pelaku bid’ah

Ikhtilaf para pengikut hawa nafsu dan pelaku bid’ah ini tercela karena mereka menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka mendahulukan hawa nafsu mereka dari Syariah. Mereka tidak menjadikan dalil-dalil syar’i sebagai rujukan pertama dan utama, namun meletakkan dalil-dalil tersebut di belakang pemikiran dan hawa nafsu mereka. Jika dalil syar’i itu sesuai dengan hawa nafsu mereka, diambil dan digunakan, namun jika tak sesuai, ditinggalkan bahkan dibuang.

Kelompok pengikut hawa nafsu dan pelaku bid’ah inilah yang memecah-belah persatuan umat Islam. Ini diindikasikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab berpecah belah menjadi 72 millah, dan sesungguhnya millah ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan di neraka dan satu di surga, yaitu al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597)
Namun, perlu dipahami bahwa pelaku bid’ah yang tercela di sini adalah pelaku bid’ah yang disepakati kebid’ahan dan ketercelaannya, bukan pelaku ibadah atau amal yang oleh sebagian umat Islam disebut bid’ah. Misal, sebagian orang menyatakan qunut shubuh itu bid’ah, namun kita tak bisa mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan qunut shubuh sebagai pelaku bid’ah yang tercela, karena mereka melakukannya juga berdasarkan dalil dan hujjah yang kuat.

Al-Khaththabi menyatakan: “Ikhtilaf dalam agama itu ada tiga macam. Pertama, dalam penetapan adanya Sang Pencipta dan keesaan-Nya, yang mengingkari ini hukumnya kafir. Kedua, dalam perkara sifat dan masyi-ah Allah ta’ala, yang mengingkari ini hukumnya bid’ah. Ketiga, dalam perkara furu’ (cabang) yang memungkinkan lahirnya beberapa pendapat, ini merupakan perkara yang dijadikan Allah sebagai rahmat dan kemuliaan bagi para ulama, dan inilah yang dimaksud oleh hadits, ‘ikhtillafu ummati rahmah’.” (Lihat “Syarh Shahih Muslim”, karya an-Nawawi, Juz 11, Halaman 258).

3. Ikhtilaf pada perkara yang bukan wilayah ijtihad

Ada perkara yang bukan wilayah ijtihad, yaitu (a) perkara yang telah disebutkan oleh nash secara sharih (sangat jelas) dan tak ada kemungkinan multi tafsir, dan (b) perkara yang telah menjadi ijma’ para ulama.

Asy-Syirazi berkata: “Perkara yang tidak dibolehkan ijtihad padanya ada dua, pertama pengetahuan tentang diin Allah ta’ala yang dharuri, seperti kewajiban shalat, zakat, dan haji, serta keharaman zina, liwath dan khamr. Ini dan yang semisalnya telah jelas kebenarannya, wajib mengambil yang telah ditetapkan. Yang menyelisihi hal ini, padahal ia telah mengetahuinya, ia dihukumi kafir, karena ia adalah perkara yang diketahui dalam diinullah ta’ala secara dharuri. Siapa saja menyelisihinya, padahal ia mengetahuinya, berarti ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Dengan ini berarti ia telah kafir. Bentuk kedua adalah perkara yang tidak diketahui pada diinullah secara dharuri, namun terdapat dalil qath’i padanya, yaitu perkara yang menjadi ijma’ di kalangan shahabat. Yang berbeda dengannya berarti batil. Yang menyelisihinya dihukumi fasik, dan keputusan hakim yang bertentangan dengannya tertolak.” (Lihat “Syarh Al-Luma’”, karya Asy-Syirazi, Juz 2, Halaman 1045-1046).

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Setiap perkara yang telah Allah tegakkan hujjah atasnya dalam Kitab-Nya, atau melalui lisan Nabi-Nya secara jelas dan terang, tidak halal ikhtilaf padanya bagi yang mengetahuinya.” (Lihat “Ar-Risalah”, karya Asy-Syafi’i, Halaman 560).

(4) Ikhtilaf pada perkara ijtihadi, namun ia melandasi pendapatnya di atas kezhaliman, hawa nafsu, atau fanatisme kelompok

Pada dasarnya, perkara yang diperselisihkan adalah perkara yang dalilnya tidak qath’i, memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, namun ia menjadi tercela karena buruknya motivasi orang yang melakukannya.

Orang-orang yang melandasi pendapatnya di atas dasar kezhaliman, mengikuti hawa nafsu atau membela kelompoknya secara membabi buta sama-sama tercela, karena mereka tidak mau mengikuti kebenaran jika itu berbeda dengan keinginan mereka.

Ibn Al-Qayyim berkata: “Adapun seorang muta’ashshib (fanatikus buta), ia menjadikan pendapat orang yang diikutinya sebagai standar dan timbangan atas al-Kitab, as-Sunnah dan pendapat shahabat. Jika ketiganya sesuai dengan pendapat orang yang diikutinya, ia terima. Namun jika menyelisihi pendapat orang yang diikutinya, ia tolak. Ini lebih dekat pada ketercelaan dan siksa daripada pahala dan kebenaran.” (Lihat “I’lam al-Muwaqqi’in”, karya Ibn Al-Qayyim, Juz 3, Halaman 527).

Ketercelaan mereka bukan pada perkara yang sedang diperselisihkan, karena hakikatnya perkara tersebut memang perkara furu’ (cabang) yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat. Ini menjadi tercela karena motivasi orang-orang yang berselisih di dalamnya. Jadi, jika yang berselisih pada perkara ini benar-benar sedang berupaya mencari dan mengikuti kebenaran, ia tidak tercela bahkan terpuji, namun jika motivasinya adalah untuk melakukan kezhaliman, mengikuti hawa nafsu atau memenangkan kelompoknya, maka itu tercela.

Leave a Reply