Oleh: Muhammad Abduh Negara
Istilah “awam” yang umum digunakan, itu menunjuk pada orang kebanyakan, yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ilmu tertentu atau keterampilan tertentu. Misal, awam dalam ilmu fisika, artinya dia tak memahami ilmu tersebut secara baik dan mendalam.
Demikian juga dalam ilmu syar’i. Seseorang disebut awam dalam ilmu Hadits misalnya, jika dia tidak memiliki kompetensi dan dirayah dalam ilmu tersebut. Demikian juga dalam ilmu fiqih, ushul fiqih dan lainnya.
Bahkan dalam istilah yang berkembang di kalangan ulama ushul fiqih, sebutan awam itu untuk semua yang tidak memiliki keahlian ijtihad, meskipun dia mungkin hafal banyak sekali bab-bab fiqih.
Lalu, apakah istilah “awam” bisa digunakan untuk menyebut kalangan yang belum ikut kajian komunitas tertentu, sedangkan yang sudah ‘bergabung’ di komunitas tersebut tidak lagi disebut awam? Secara bahasa, mungkin bisa saja. Artinya, kalangan khusus (khawash) adalah yang ikut kajian komunitas tertentu, sedangkan orang kebanyakan (awam) belum ikut kajian komunitas tersebut.
Namun, jika yang diinginkan dari istilah tersebut bukan sekadar itu, maka penggunaannya bisa dikritisi. Misal, jika dipahami bahwa orang yang belum gabung kajian komunitas tertentu, dianggap “awam”, yang berarti tidak paham ilmu agama, aqidahnya tidak jelas, manhajnya bermasalah, pemahaman agamanya rusak, dan semisalnya. Sedangkan yang sudah ‘bergabung’ di kajian komunitas tersebut, berarti dia bukan lagi orang awam, tapi “ikhwah kita”, dan dijamin pemahaman agamanya sudah benar, aqidahnya lurus, manhajnya kokoh, dan semisalnya. Pembagian awam dan tidak awam semacam ini, sangat bermasalah.
Yang menentukan baiknya pemahaman, lurusnya aqidah, dalam dan luasnya ilmu, kokohnya mengikuti Sunnah, standarnya adalah dalil-dalil syar’i dan alat untuk memahaminya adalah berbagai ilmu syar’i. Bukan gabung di kajian komunitas tertentu atau tidak.
Belasan tahun ‘bergabung’ dalam komunitas tertentu, jika tidak pernah belajar ilmu syar’i secara ta’shili, tidak pernah menelaah kitab-kitab para ulama, tidak pernah belajar cara memahami dalil, hakikatnya dia masih awam.
Sebaliknya, meskipun seseorang tidak pernah dikenal ‘bergabung’ di komunitas tertentu, atau bahkan dituduh pembawa syubhat sekalipun, jika dia telah belajar ilmu syar’i secara bertahap dan sesuai metode yang dianjurkan para ulama, mempelajari berbagai ilmu yang diperlukan dalam menelusuri dan memahami dalil, sibuk menelaah kitab para ulama mu’tabar, dan seterusnya, maka dia telah keluar dari kumpulan orang awam, dan masuk kalangan orang-orang khusus, meskipun tidak pernah mendapat stempel persetujuan dan “recommended” dari komunitas tertentu.
Leave a Reply