Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Lafazh Yang Sharih Tidak Perlu Niat

Monstera delicosa leaves textured background

Oleh: Muhammad Abduh Negara
Lafazh yang sharih, yang jelas maknanya dan hanya mengandung satu makna saja, diterima tanpa perlu niat, karena sharih-nya lafazh itu sendiri telah menunjukkan maksud dari yang mengucapkannya. Beda dengan lafazh yang tidak sharih, yang mengandung kemungkinan beberapa makna, maka perlu memperhatikan niat yang dituju oleh yang mengucapkannya.
 
Yang disyaratkan saat seseorang mengucapkan lafazh yang sharih hanyalah, ia memang meniatkan mengucapkan hal tersebut, bukan karena terpeleset lidah (sabqul lisan). Jika ia mengucapkan hal tersebut karena terpeleset lidah, maka ucapannya dianggap tidak ada.
 
Karena itu, jika seseorang sengaja mengucapkan lafazh yang sharih, tidak boleh kemudian ia menyatakan bahwa yang ia maksud bukan hal tersebut. Dalam konteks ini, niat tidak dianggap jika ia menyebabkan dianulirnya lafazh yang sharih tersebut.
Contoh:
1. Jika seseorang bersumpah dengan lafazh sumpah yang sharih, semisal “Saya bersumpah demi Allah ta’ala…”, kemudian ia mengatakan, ia tidak bermaksud sumpah, hal tersebut tak diterima, dan sumpahnya tetap dianggap sumpah.
 
2. Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Saya talak kamu”, maka jatuh talak, meski kemudian ia mengaku tidak bermaksud menalak istrinya, tapi cuma main-main saja.
 
Namun, jika seseorang mengucapkan lafazh sharih yang bersifat umum atau mutlak, kemudian ia menyatakan bahwa maksudnya adalah makna majaz bukan hakikatnya, atau ia mengkhususkan (takhshish) orang atau hal tertentu, atau ia men-taqyid dengan qayd tertentu, maka dilihat.
 
Jika hal itu terkait hak Allah ta’ala (tidak berkaitan dengan hak orang lain) maka niatnya itu diterima dan diakui, zhahir dan bathin. Dan ucapannya tersebut dibawa mengikuti makna yang ditunjukkan oleh majaz, takhshish dan atau taqyid-nya.
Sedangkan jika itu terkait hak orang lain, maka ia diterima secara bathin, namun tidak diterima secara zhahir, kecuali jika disertai qarinah.
 
Wallahu a’lam.
 
Rujukan: Al-Istidlal Bi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah ‘Inda Asy-Syafi’iyyah, karya Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf, Halaman 227-231, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.

Leave a Reply