Oleh: Muhammad Abduh Negara
1. Mengapa dalam penentuan waktu shalat, tidak ada yang mempermasalahkan penggunaan hisab, sedangkan pada penentuan waktu puasa, banyak yang mempermasalahkan?
Karena pada shalat, perintahnya hanya “shalat pada waktunya”, disertai keterangan tentang waktu shalat tersebut, tanpa ada perintah khusus tentang cara mengetahui waktu tersebut, karena itu jika dengan hisab falaki bisa ditentukan waktu shalat tersebut, maka perintahnya telah dipenuhi.
Sedangkan pada kasus puasa, ada perintah secara khusus untuk ru’yah hilal dan istikmal jika tidak terlihat hilal, karena itu menurut mereka dua hal ini wajib dilakukan, dan tidak cukup dengan hisab falaki.
Jadi, meskipun dengan hisab falaki, bisa diketahui kapan awal bulan baru masuk, namun menurut mereka itu belum memenuhi perintah syariat, yaitu ru’yah hilal dan istikmal.
2. Lalu mengapa ada sekian ulama yang menyatakan bolehnya menggunakan hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri?
Karena menurut mereka, sebab wajibnya puasa dan berbuka (‘idul fithri) itu adalah datangnya bulan baru. Adapun ru’yah hilal dan istikmal adalah wasilah untuk mengetahui hal tersebut. Karena itu, jika ada wasilah lain yang juga bisa digunakan, bahkan secara fakta bisa menghasilkan data yang lebih valid, hal tersebut digunakan.
Apakah kelompok ini menolak Hadits? Jawabannya, tidak. Mereka hanya tidak membatasi pada zhahir Hadits, tapi melihat juga pada maqashid dari Hadits tersebut. Ini serupa dengan kasus “Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah”.
Kemudian mereka juga melihat indikasi lain, misalnya perintah untuk mengamati peredaran benda-benda langit, kemudian pernyataan Nabi bahwa di masa itu umat Islam adalah umat yang ummi (yang ini bukan menghina atau merendahkan, tapi menjelaskan fakta, yang bisa mempengaruhi perubahan fatwa), kemudian penafsiran sebagian ulama klasik tentang makna فاقدروا له yang memberi peluang digunakannya hisab falaki, dan sekian argumentasi lain.
3. Jadi bagaimana?
Ini perselisihan antara para ulama yang berpegang pada zhahir Hadits yang berisi perintah untuk melakukan ru’yah hilal dan istikmal, dengan para ulama yang memperluas kandungan Hadits tersebut dan membedakan antara maqashid dan wasail.
4. Mengapa ikhtilafnya menguat baru di era kontemporer?
Pertama, ikhtilaf tentang penggunaan hisab dalam penentuan awal akhir Ramadhan dihikayatkan sudah ada sejak era salaf. Tapi memang harus diakui, adu argumennya tidak terlalu kuat di masa lalu.
Kedua, di era kontemporer pembahasan ini semakin menguat, dan para pendukung hisab falaki bukan ulama sembarangan, di antaranya pakar Hadits salafi abad 20, Syaikh Ahmad Syakir, pakar fiqih dunia dari Syam, Syaikh Mushthafa Az-Zarqa, dan pendiri Ikatan Ulama Muslimin Dunia, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi.
Mengapa menguat? Karena mereka melihat, perkembangan ilmu astronomi sudah begitu luar biasa, banyak hal yang dulu hanya praduga saat ini sudah bisa dibuktikan dengan peralatan yang canggih, bahkan manusia pun sudah bisa menginjakkan kakinya di bulan, karena itu mempertimbangkan hisab falaki untuk mengetahui masuknya bulan baru merupakan kebutuhan yang urgen di tengah umat Islam.
Ditambah mereka memandang, ru’yah hilal dan istikmal itu wasilah, bukan ghayah atau maqashid atau asal tuntutan ibadah itu sendiri.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply