Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fawaid Fathul Bari

Niat dalam Amal Wasail

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Fawaid Fathul Bari #5
Hadits 1

Pada lafazh Hadits “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”, para ulama menyatakan bahwa ada lafazh yang mahdzuf (tidak disebutkan, tapi maknanya ada), dan mereka berbeda pendapat, apakah lafazh tersebut adalah “sah” atau “sempurna”, sahnya amal atau sempurnanya amal. Jika diambil “sahnya amal”, konsekuensinya amal yang tidak disertai niat itu tidak sah. Sedangkan jika diambil “sempurnanya amal”, konsekuensinya amal yang tidak disertai niat itu tetap sah, namun memiliki kekurangan.

Tentang hal ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip pernyataan Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id, “Para ulama yang mensyaratkan niat, mereka memperkirakan (lafazh yang mahdzuf) dengan “sahnya amal”. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkannya, memperkirakan lafazh tersebut dengan “sempurnanya amal”. Dan yang dirajihkan adalah yang pertama, karena pemaknaan “sah” secara hakikat lebih sering digunakan dibandingkan “sempurna”, karena itu lebih utama membawanya pada makna tersebut.”

Al-Hafizh kemudian menimpali pernyataan tersebut, bahwa ungkapan Ibnu Daqiq Al-‘Id membuat kesan bahwa ada ulama yang tidak mensyaratkan niat pada seluruh amal, dan faktanya bukan seperti itu. Ikhtilaf ulama hanya terjadi pada amal yang sifatnya wasail (perantara), bukan pada amal maqashid (amal tujuan).

Contoh amal yang merupakan wasail misalnya adalah wudhu dan mandi, yang merupakan perantara untuk sahnya shalat. Sedangkan amal maqashid contohnya adalah shalat dan puasa, yang merupakan ibadah yang secara khusus ditujukan untuk taqarrub ilallah, dan bukan merupakan perantara untuk amal yang lain.

Karena itu, lanjut Al-Hafizh Ibnu Hajar, Hanafiyyah menyelisihi jumhur tentang disyaratkannya niat dalam wudhu, dan Al-Auza’i menyelisihi jumhur tentang syarat niat dalam tayammum. Karena dua amal tersebut adalah amal wasail. Adapun untuk niat dalam shalat atau puasa, mereka tidak berbeda pendapat, bahwa wajib niat pada keduanya. Mereka hanya berbeda pendapat tentang statusnya, sebagai rukun atau syarat.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Penerbit Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, Damaskus, Tahun Terbit 1434 H (2013 M), Juz 1, Hlm. 25 dan 27.

Leave a Reply