Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Orang Yang Mampu Mendapatkan Hal Yang Meyakinkan, Bolehkah Dia Berijtihad Dan Mengambil Sesuatu Yang Zhan?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Salah satu kaidah yang diperselisihkan di kalangan ulama Syafi’iyyah, karena perbedaan tarjih dalam furu’-nya, adalah kaidah, “Orang yang mampu mendapatkan yang yakin, bolehkah dia berijtihad dan mengambil yang zhan?” (القادر على اليقين هل له الاجتهاد والأخذ بالظن).

Contoh penerapan kaidah ini dalam furu’:

1. Orang yang mendapatkan dua wadah air, salah satunya berisi najis, hanya saja, ia tidak bisa memastikan (tidak yakin) mana wadah air yang berisi najis tersebut.

Di sisi lain, ia bisa mendapatkan air yang diyakini suci dan menyucikan, karena misalnya ia sedang berlayar di laut dan bisa dengan mudah menggunakan air laut. Atau ia memiliki wadah air yang ketiga, yang diyakini airnya suci dan menyucikan.

Atau dia mampu menggabungkan dua wadah air tersebut, dan jumlahnya menjadi dua qullah atau lebih setelah digabungkan, yang menjadikannya suci dan menyucikan.

Meskipun ia mampu mengambil yang yakin, pada kondisi ini, menurut pendapat yang paling shahih (ashah), ia tetap boleh berijtihad (memilih salah satu dari dua wadah tersebut) dan mengambil yang menurut zhan-nya itu suci dan menyucikan.

2. Orang yang memiliki dua pakaian, yang salah satunya terkena najis, tapi ia tidak bisa memastikan mana yang terkena najis tersebut. Di sisi lain, ia bisa memakai pakaian yang jelas tidak najis, selain dua pakaian tersebut. Pada kondisi ini, menurut pendapat yang paling shahih, dia boleh berijtihad (memilih salah satu dari dua pakaian tersebut) dan memakai pakaian yang menurut zhan-nya suci.

3. Orang yang ragu, apakah waktu shalat sudah masuk atau belum. Di sisi lain, ia bisa menunggu sampai dipastikan masuk waktu, atau ia bisa keluar rumah untuk melihat pergeseran matahari yang menunjukkan masuknya waktu shalat secara pasti. Pada kondisi ini, menurut pendapat yang paling shahih, ia tetap bisa berijtihad dan menetapkan masuk tidaknya waktu berdasarkan zhan-nya.

4. Shalat menghadap Hijr Isma’il, sesuai kadar yang disebutkan dalam Hadits bahwa ia bagian dari Ka’bah, menurut pendapat yang paling shahih, itu tidak sah.

Penyebab ia tidak sah, karena terdapat perbedaan riwayat tentang kadar Hijr yang menjadi bagian dari Baitullah tersebut. Satu riwayat menyatakan, kadarnya tujuh hasta, riwayat lain enam hasta, riwayat lain lagi menyatakan lima hasta. Dan semua riwayat ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Perbedaan riwayat tersebut, menyebabkan shalat menghadap Hijr derajatnya cuma zhan, bahwa ia telah menghadap Ka’bah. Dan seseorang bisa mendapatkan yang yakin, yaitu shalat langsung menghadap bangunan Ka’bah.

5. Ijtihad seorang Shahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan di hadapan beliau, menurut pendapat yang paling shahih, boleh. Padahal ia bisa mendapatkan hukum yang meyakinkan dari Nabi.

6. Ijtihad yang menghasilkan zhan tidak diperbolehkan, jika seorang mujtahid mendapatkan nash yang sharih (jelas dan tegas) yang menunjukkan hukum pada perkara yang akan dia lakukan ijtihad padanya.

7. Di Makkah, saat seseorang bisa memastikan arah kiblat dengan mata kepalanya sendiri, maka ia tak boleh berijtihad dan mengambil yang zhan dalam menentukan arah kiblat.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 243-244, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.

Leave a Reply