Oleh: Muhammad Abduh Negara
Perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya para ahli Fiqih, dalam persoalan-persoalan ijtihadiyyah, bukanlah perbedaan pendapat yang dilahirkan oleh hawa nafsu. Para ulama rabbani (ulama yang beramal dengan ilmunya) adalah orang yang paling hati-hati, paling wara’ dan paling bertaqwa kepada Allah ta’ala dibandingkan kita. Mereka tentu tak mengemukakan pendapat dari hawa nafsunya belaka.
Perbedaan pendapat ini, ternyata memang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri, yang membuka ruang untuk dipahami secara berbeda, meski tentu dengan syarat-syarat tertentu. Ia juga disebabkan oleh perbedaan penelaahan dan penelitian para ulama, yang menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda.
Wahbah Az-Zuhaili dalam muqaddimah kitab “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu” (Juz 1, hlm. 67-72) menjelaskan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar madzhab fiqih maupun ikhtilaf yang terjadi antar ulama dalam satu madzhab bukanlah sesuatu yang tercela, selama perbedaan tersebut tidak pada bagian pokok agama dan keyakinan. Selama dalam perkara cabang dan ijtihadi, perbedaan pendapat tersebut malah merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat serta merupakan bagian dari kekayaan khazanah pemikiran Islam pada umat ini.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih ini juga tidak menunjukkan adanya pertentangan dalam Syariat, melainkan ini terjadi karena kelemahan manusia dalam memahami Syariat. Dan demi menghilangkan kesempitan dalam beragama, maka kita dibolehkan beramal dengan salah satu pendapat ahli fiqih yang ada.
Menurut Az-Zuhaili, ada beberapa hal terpenting yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu:
1. Perbedaan makna-makna lafazh dalam bahasa Arab
Ini misalnya terjadi pada lafazh yang mujmal (global, belum jelas maknanya), musytarak (mengandung beberapa makna sekaligus), atau apakah ia bermakna umum atau khusus, maknanya haqiqi (makna asli bentukan bahasa) atau majazi (makna yang bukan bentukan asli bahasa, namun ia ada pada kata tersebut), muthlaq (menunjukkan suatu makna tanpa ada batasan) atau muqayyad (maknanya dibatasi oleh hal-hal tertentu), dan lain-lain.
Sebagai contoh, perbedaan memahami makna القرء (al-qur’u), apakah ia berarti suci dari haid, atau sebaliknya artinya adalah haid. Atau kata الرقبة (ar-raqabah/budak), dalam kaffarah sumpah disebutkan pembebasan budak secara mutlak, sedangkan pada kaffarah pembunuhan tersalah (tak sengaja) disebut dengan taqyid (pembatasan) yaitu “budak beriman”, apakah kemudian pada kaffarah sumpah budak yang dibebaskan harus beriman, atau tetap dimutlakkan, beriman maupun tidak beriman?
Atau lafazh perintah dalam nash, apakah konsekuensi hukumnya wajib atau sunnah, atau lainnya. Kemudian majaz, kadang ia dengan tambahan lafazh, kadang dengan penghilangan lafazh. Dan berbagai bahasan lainnya terkait makna lafazh dalam bahasa Arab.
2. Perbedaan dalam riwayat
Misalnya suatu Hadits sampai riwayatnya kepada salah seorang ahli fiqih, sedangkan kepada ahli fiqih yang lain tidak sampai. Atau sampai kepada seorang ahli fiqih melalui jalan yang dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah, sedangkan kepada ahli fiqih yang lain sampai melalui jalan yang shahih.
Atau Hadits itu hanya memiliki satu jalan periwayatan, yang oleh sebagian ahli fiqih dianggap ada kelemahan pada jalan periwayatan tersebut, sedangkan ahli fiqih yang lain tak melihat ada kelemahan tersebut. Bisa juga mereka sepakat dalam penilaian suatu Hadits, namun mereka berbeda pendapat apakah Hadits yang seperti itu bisa dijadikan hujjah atau tidak, misal Hadits mursal (Hadits yang diriwayatkan oleh selain Shahabat langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam tanpa menyebutkan sanad antara dirinya dengan Rasulullah).
3. Perbedaan sumber dalil
Ada beberapa dalil yang diperselisihkan oleh para ahli fiqih kebolehannya digunakan sebagai hujjah, seperti istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishhab, dan lain-lain. Sangat terbuka peluang terjadi perbedaan pendapat fiqih, misalnya, antara yang menggunakan mashalih mursalah sebagai dalil dengan ahli fiqih yang tidak menggunakannya.
4. Perbedaan dalam kaidah ushul fiqih
Seperti kaidah lafazh umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah menurut sebagian ulama, mafhum (makna tersirat) tidak menjadi hujjah menurut sebagian ulama, dan semisalnya.
5. Ijtihad dengan menggunakan qiyas
Dalam qiyas terhadap ashlun (perkara asal yang terdapat dalam nash), syarat-syarat, dan ‘illah (kesamaan sifat yang ada pada perkara asal dan perkara cabang). Dalam ‘illah juga terdapat syarat-syarat dan jalan-jalan (masalik), dan ini semua berpotensi melahirkan perbedaan pendapat. Demikian juga, dalam proses tahqiq al-manath (penentuan apakah terdapat ‘illah pada perkara cabang), sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat.
6. Pertentangan (ta’arudh) dan pemilihan (tarjih) di antara dalil-dalil
Perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih juga banyak terjadi karena hal ini, dan bahkan melahirkan perdebatan di antara mereka. Perbedaan dalam hal ini mencakup klaim ta’wil (pengalihan makna), penetapan ‘illah, mengamalkan seluruh dalil atau menetapkan adanya nasakh, dan lainnya.
Pertentangan bisa terjadi antar nash (menurut pengamatan ahli fiqih, antar nash yang ada terdapat pertentangan maknanya), atau antar qiyas. Misalnya terjadi pertentangan antara perkataan Rasul dan perbuatan beliau, atau dalam iqrar (persetujuan) beliau. Perbedaan pendapat juga bisa terjadi dalam memahami sifat tindakan Rasul, apakah merupakan bagian dari strategi atau fatwa. Dan banyak yang lainnya.
Karena potensi perbedaan pendapat yang cukup besar ini, para mujtahid di kalangan Shahabat bahkan menghindari menyebut hasil ijtihad mereka sebagai “hukum Allah” dan “Syariat Allah”. Mereka hanya berkata, “Ini adalah pendapatku, jika pendapat tersebut benar, itu berasal dari Allah, sebaliknya jika pendapat tersebut keliru, itu berasal dariku dan dari syaithan, dan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kekeliruan tersebut”.
Ini adalah kehati-hatian mereka, karena hasil ijtihad masih mungkin keliru, dan berbeda antar Shahabat, karena itu, jika mereka menyebut ijtihad mereka sebagai Syariat dari Allah, sedangkan ada Shahabat lain yang pendapatnya berbeda, maka seakan pendapat yang berbeda tersebut menyelisihi Syariat Allah ta’ala. Dan faktanya tidak demikian.
Leave a Reply