Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Pindah Madzhab Fiqih atau Pindah Aliran Aqidah?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Beberapa waktu lalu, ada ustadz muda dari Negeri Jiran yang tampaknya cukup populer di facebook, mendeklarasikan dirinya pindah dari paham salafi menuju asy’ari, setelah beberapa waktu mempelajari madzhab Syafi’i dan menelaah berbagai kitab dari para penulis pendukung tradisi madzhab.

Seingat saya, sekian tahun lalu, sang ustadz muda ini masih kental warna salafinya, dan suka berbagi faidah di media sosial. Setelah itu, tertarik dengan tradisi madzhab, mendalami madzhab Syafi’i, berbagi faidah terkait madzhab ini, dan lambat laun beralih aliran aqidah.

Mungkin ini yang dikhawatirkan sebagian asatidz senior salafi Indonesia, yang risau dengan fenomena bermadzhabnya para ustadz dan pelajar salafi muda beberapa waktu belakangan ini. Pikir mereka, awalnya tertarik belajar fiqih madzhabi, setelah itu terikat dengan fiqih madzhabi, setelah itu mempelajari pemahaman para tokoh madzhab ini, terutama kalangan mutaakhkhirin-nya, lalu tertarik dengan pemikiran mereka, termasuk pemikiran mereka dalam bidang aqidah, terus… terus… hehe…

Hemat saya, ini karena pilihan sebagian ustadz muda dan pelajar muda salafi ini, adalah madzhab Syafi’i, yang secara fiqih banyak berbeda dengan fiqih ala salafi (baik salafi ala al-Albani, maupun salafi ala masyayikh Saudi), sehingga menimbulkan resistensi di internal mereka. Ditambah, mayoritas sekali ulama Syafi’iyyah mutaakhkhirin juga merupakan pengikut Asya’irah. Bahkan sebagiannya dengan terang-terangan mendukung istighatsah kepada selain Allah, yang ini merupakan hal yang sangat tabu di kalangan Salafi-Wahhabi.

Ada juga yang memilih menjadi Hanabilah, namun cenderung pada Hanabilah versi Al-Azhar Mesir, bukan Hanabilah versi Saudi. Lagi-lagi, Hanabilah versi pertama ini, meski ada perbedaan dengan Asy’ariyyah, namun cukup dekat dalam sekian isu, dibandingkan dengan Hanbali versi Saudi, yang beraroma Taimi-Wahhabi. Tentu ini juga menimbulkan resistensi di kalangan salafi negeri ini.

Bahkan saya pun agak susah membayangkan, para ustadz muda dan pelajar muda salafi ini, bisa konsisten dan setia sebagai salafi dengan pakem pemahaman yang sudah maklum bagi setiap pelajar dan peneliti berbagai pemikiran di tubuh umat Islam. Untuk pengikut madzhab Syafi’i, pilihannya ada dua: Pertama, mengoplos paham Syafi’iyyah dengan paham Salafi-Taimi, dan melahirkan warna baru yang unik; Kedua, melakukan konversi sepenuhnya seperti Syafi’iyyah mutaakhkhirin, seperti yang dilakukan ustadz muda dari Malaysia di atas.

Mau bukti? Lihatlah beberapa syaikh muda Syafi’iyyah dari Yaman dan lainnya, yang jadi guru para ustadz dan pelajar muda salafi saat ini, yang selalu diklaim “masih salafi”, ada berapa tulisan dan postingan mereka yang membahas aqidah salafi sekaligus mengkritik aqidah mukhalif dalam beberapa tahun belakangan ini, sebagaimana layaknya dilakukan oleh masyayikh dan asatidz salafi?

Yang memilih Hanbali, pilihannya ada dua, jadi Hanbali versi Al-Azhar Mesir atau jadi Hanbali versi Saudi. Bagi yang masih setia dengan kesalafiannya, mungkin akan memilih Hanbali versi Saudi, dan pemahamannya tidak akan keluar dari pemahaman semisal Syaikh Bin Baz, Syaikh al-‘Utsaimin atau Syaikh Shalih al-Fauzan. Tapi, apakah ini menantang bagi anak-anak muda ini, yang selalu senang hal-hal baru? Bukankah jadi Hanbali versi satunya lagi, jauh lebih menarik?

Ya, kita tunggu saja beberapa tahun ke depan, apa yang akan terjadi. Apakah mereka memang berhasil meramu dua hal, yaitu “setia dalam bermadzhab dengan segala pakemnya ala mutaakhkhirin”, sekaligus “setia pada kesalafiannya dengan seluruh pakemnya”, atau akhirnya…

Saya pribadi sih, selalu tidak mempermasalahkan seseorang pindah madzhab atau pemahaman, selama itu lahir dari niat yang lurus, yaitu untuk sampai pada kebenaran, dan selalu setia pada ilmu, bukan malah fanatik buta pada hal yang baru, setelah meninggalkan hal lama, yang juga difanatiki membabi-buta. Jika perubahan itu merupakan bagian dari proses belajar dan menelaah ilmu, dengan niat yang benar, insyaallah akan sampai pada kebaikan. Jika sebaliknya, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan.

Leave a Reply