Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Qawa'id Fiqhiyyah

Sebagian Anggota Wudhu Tidak Terbasuh Karena Ada Penghalang, Sahkah Shalatnya?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Pertanyaan:

Apa yang harus kita lakukan jika setelah selesai shalat kita menyadari ada sebagian kecil dari tubuh kita yang ketutupan, misalnya tertutup getah atau potongan lakban, jadi air wudhu tidak masuk pada bagian itu, apakah shalatnya harus diulang? Bagaimana jika tertutupnya bagian kulit kita itu terjadi selama seharian, apakah shalat satu hari itu harus kita ulang?

Jawaban:

Bismillah. Alhamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man waalaah. Amma ba’du.

Menghilangkan segala hal yang bisa menghalangi sampainya air ke anggota wudhu yang wajib dibasuh, merupakan syarat sah dari wudhu. Jika seseorang berwudhu dan meninggalkan sebagian anggota wudhu tidak terbasuh karena adanya sesuatu yang menghalangi masuknya air pada anggota wudhu tersebut, maka wudhunya tidak sah.

(Silakan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah: 43/329, dan Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu: 1/239, dan kitab-kitab lainnya)

Dalil dari hal ini, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1/55), adalah Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Kami baru saja kembali dari Makkah menuju Madinah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami berada di sebuah sumber air di jalan, sekelompok orang bergegas untuk melaksanakan shalat ‘Ashar. Mereka berwudhu dengan tergesa-gesa, hingga kami dapati tumit mereka tidak terkena air. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ، أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ

Artinya: “Kecelakaan berupa neraka bagi tumit-tumit (yang tidak terkena basuhan wudhu). Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Al-Bukhari [no. 161] dan Muslim [no. 241], dan lafazh Hadits dari Imam Muslim)

Juga berdasarkan Hadits tentang seseorang yang berwudhu dan meninggalkan satu tempat di kakinya (tidak dibasuh). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bersabda:

ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ

Artinya: “Kembalilah (ulanglah), dan perbaiki wudhumu.” (HR. Muslim [no. 243])

Orang tersebut lalu mengulangi wudhunya, kemudian melaksanakan shalat.

Dua Hadits di atas menunjukkan bahwa wudhu seseorang tidak mencukupi (tidak sah), jika masih ada bagian dari anggota wudhu yang wajib dibasuh, namun tidak terbasuh, meskipun hanya sedikit.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/467) menyatakan:

إذا كان على بعض أعضائه شمع أو عجين أو حناء واشتباه ذلك فمنع وصول الماء الى شئ من العضو لم تصح طهارته سواء كثر ذلك أم قل

“Kalau di sebagian anggota wudhu ada lilin, pasta atau hinna (pacar kuku) atau yang semisal itu, yang menghalangi sampainya air ke anggota badan, maka bersuci (thaharah)-nya tidak sah. Baik itu sedikit maupun banyak.”

Namun, jika yang tersisa hanya bekas (atsar) dari zat-zat tersebut, sedangkan zat atau ‘ain-nya sendiri telah hilang, sehingga air bisa sampai pada anggota badan, maka tidak mengapa, dan thaharahnya sah. Imam An-Nawawi, masih dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/467-468) menyatakan:

ولو بقي على اليد وغيرها أثر الحناء ولونه دون عينه أو أثر دهن مائع بحيث يمس الماء بشرة العضو ويجري عليها لكن لا يثبت صحت طهارته

“Jika masih tersisa di tangan atau di tempat lainnya bekas (atsar) dari hinna (pacar kuku) dan warnanya, namun zatnya sudah tidak ada, atau ada bekas (atsar) dari lemak/minyak cair, dengan kondisi air masih bisa mengenai dan mengalir pada kulit, meskipun tidak tertahan, thaharahnya sah.”

Saat menjelaskan makna Hadits ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ (Kembalilah, dan perbaiki wudhumu), Imam An-Nawawi menegaskan bahwa tidak sahnya wudhu karena ada sedikit anggota badan (yang wajib dibasuh) yang tidak terkena air, merupakan hal yang disepakati ulama. Beliau menyatakan:

في هذا الحديث أن من ترك جزءا يسيرا مما يجب تطهيره لا تصح طهارته وهذا متفق عليه

“Hadits ini menunjukkan bahwa siapa saja yang meninggalkan (tidak membasuh) bagian kecil dari anggota badan yang wajib disucikan, maka tidak sah thaharahnya. Dan ini merupakan hal yang disepakati (oleh para ulama).” (Syarh Shahih Muslim: 3/132)

***

Dan wudhu (bagi orang yang tidak memiliki ‘udzur, seperti tidaknya adanya air) merupakan syarat sah Shalat. Tidak sah shalat bagi orang yang berhadats, baik kecil maupun besar, berdasarkan kesepakatan seluruh ulama, kecuali bagi orang yang memiliki ‘udzur.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (17/124), kitab fiqih perbandingan madzhab terlengkap sampai saat ini, disebutkan:

“Haram bagi orang yang berhadats (yang tidak memiliki ‘udzur) melaksanakan shalat dengan seluruh jenisnya, berdasarkan Ijma’. Hal ini dilandasi oleh Hadits Shahihain:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Artinya: “Allah tidak menerima Shalat salah seorang di antara kalian, jika ia berhadats, hingga ia berwudhu (terlebih dulu).” (HR. Al-Bukhari [no. 6954] dan Muslim [no. 225], dan lafazh Hadits dari Imam Al-Bukhari)

Juga Hadits Nabi ‘alaihish shalatu was salam:

لَا صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ

Artinya: “Tidak ada Shalat bagi yang tidak berwudhu.” (HR. Abu Dawud [no. 101]. Hadits ini isnadnya lemah, namun ia memiliki syawahid yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish, dan beliau mengatakan: Kumpulan Hadits yang berbicara tentang hal ini memiliki kekuatan, yang menunjukkan ia memiliki asal)

Juga Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ

Artinya: “Tidak diterima shalat tanpa thaharah.” (HR. Muslim [no. 224])

Dan shalat di sini, maknanya umum, mencakup shalat fardhu dan shalat nafilah (sunnah), di antaranya shalat jenazah, berdasarkan kesepakatan para ahli fiqih.

Termasuk juga, yang semakna dengan shalat, seperti sujud tilawah, sujud syukur, dan khutbah Jum’at, menurut sebagian ahli fiqih. Dan dihikayatkan dari Asy-Sya’bi dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, kebolehan shalat jenazah tanpa wudhu dan tayammum.

Jika terdapat ‘udzur, seperti tangan dan kakinya terpotong, atau ada luka di wajahnya, sebagaimana yang disebutkan oleh kalangan Hanafiyyah, atau tidak mendapatkan air dan tanah, sedangkan waktu hampir habis, sebagaimana dikatakan oleh kalangan Syafi’iyyah, ia harus shalat sebagai kewajiban baginya tanpa thaharah. Perincian tentang hal ini ada pada pembahasan ‘Faqdu Ath-Thahurain’.”

Selesai kutipan dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.

Hal ini juga disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, kitab fiqih perbandingan madzhab yang sangat masyhur, karya Imam Ibnu Rusyd. Dalam kitab tersebut (1/27, versi Syarah Bidayatul Mujtahid) dikatakan:

“Dalil atas wajibnya wudhu adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. Dalil dari Al-Kitab adalah firman Allah ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian akan mendirikan shalat, basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian sampai ke siku, usaplah (sebagian) kepala kalian, dan basuhlah kaki kalian sampai ke mata kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Dan kaum muslimin sepakat bahwa melaksanakan seruan dalam firman Allah ta’ala ini wajib bagi setiap orang yang diwajibkan shalat, jika telah masuk waktunya.

Adapun As-Sunnah, adalah sabda Nabi ‘alaihish shalatu was salam:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Artinya: “Tidak diterima shalat tanpa thaharah, dan tidak diterima shadaqah dari harta haram (khianat).” (HR. Muslim [no. 224]. Sudah disebutkan sebelumnya)

Dan sabda Nabi ‘alaihish shalatu was salam:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Artinya: “Allah tidak menerima shalat orang yang berhadats, hingga ia berwudhu.” (Takhrij Hadits sudah disebutkan sebelumnya, dengan sedikit perbedaan redaksi)

Dua Hadits ini tsabit (shahih dari Nabi) menurut para Imam ahli Hadits.

Adapun Ijma’, tidak ada satupun nukilan dari para ulama kaum muslimin yang menunjukkan bahwa ada khilaf tentang hal ini. Seandainya ada khilaf (perbedaan pendapat), tentu hal itu akan dinukil, karena kebiasaan meniscayakan hal tersebut.”

Selesai kutipan dari Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.

***

Berdasarkan penjelasan di atas, jika wudhu seseorang tidak sah karena sebagian anggota wudhu tidak terbasuh karena terhalang cat, getah, dan semisalnya, maka shalatnya ikut tidak sah. Ia wajib mengulang wudhunya, kemudian mengulang shalatnya. Jika telah keluar dari waktunya, maka ia wajib meng-qadha shalatnya tersebut. Jika shalatnya yang tidak sah itu lima kali shalat (satu hari penuh), maka ia wajib meng-qadha seluruh shalatnya tersebut.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply