Oleh: Muhammad Abduh Negara
Islam punya konsep yang sempurna tentang kehidupan manusia, hingga kita tak berhajat lagi dengan pandangan hidup lainnya.
Dalam hal ibadah, Islam punya tuntunan rinci. Dalam perkara muamalah, ada kaidah-kaidah yang menjadi pegangan. Dalam aspek bermasyarakat dan bernegara pun ada. Islam lengkap dan sempurna.
Bahkan dalam perkara-perkara teknis, Islam pun tak absen. Ketika Rasul berkata, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”, ada konsep penting dalam Islam di sana. Yaitu, jangan bertanya dan berguru pada orang yang bukan ahlinya. Rasul seorang yang lahir di Makkah, terampil berdagang dan mengembala, namun beliau tak terbiasa dengan dunia pertanian dan perkebunan. Wajar jika beliau kemudian memberi saran yang keliru di bidang ini, dan ini sedikit pun bukan cela bagi beliau, shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Memahami Islam pun ada metodenya. Bukankah Rasul bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)?
Bukankah Al-Qur’an dan As-Sunnah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, kemudian mereka ajarkan kepada generasi tabi’in, kemudian generasi selanjutnya hingga sekarang?
Bukankah ajaran Islam diajarkan oleh para ulama melalui lisan dan tulisan mereka? Merekalah pewaris ilmu para Nabi. Merekalah orang-orang yang paling memahami Islam. Jika kita tak belajar Islam pada mereka, kepada siapa lagi kita akan belajar?
Kembali ke konsep ‘lengkap dan sempurnanya Islam’, apakah kita yakin Islam punya jawaban dan tuntunan dari A-Z kehidupan kita? Jika yakin, kepada siapa kita belajar tuntunan hidup yang sempurna tersebut? Kepada ulama atau kepada siapa?
Kita patut heran dengan orang-orang yang mengambil cara wudhunya dari para ulama, namun mengambil cara pandangnya terhadap kehidupan dari orang-orang barat yang tak pernah berwudhu.
Ada orang yang mengambil konsep jodoh dari motivator yang tak paham konsep taqdir. Ada orang yang belajar membangun cita-cita dari inspirator yang tak kenal dan tak percaya akhirat.
Ada yang membangun motivasi kehidupan dari buku-buku motivasi barat yang tak kenal Allah, tak beriman dengan hari akhir, surga dan neraka. Kadang, motivasi-motivasi ala barat itu pun dibumbui ayat dan hadits, namun dimaknai tak sesuai pemahaman para ulama. Keduanya hanya jadi bumbu, agar terkesan jadi motivasi Islami.
Ada juga motivasi-motivasi bisnis yang mereka ambil sepenuhnya dari motivator-motivator bisnis barat, yang tak tahu bahwa hidup itu bukan hanya untuk menumpuk kekayaan dan berbangga-bangga dengan banyaknya harta. Kemudian, demi mengislamikan motivasi bisnis, diangkatlah nama shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lengkap dengan daftar kekayaannya. Seakan para shahabat tersebut hidup hanya untuk bisnis dan memperkaya diri.
Saya bukanlah orang yang anti 100% dengan barat, tidak sama sekali. Tapi mari jujur, apakah kita selama ini meyakini hal-hal yang saya sebutkan di atas itu tidak diajarkan Islam? Apakah kita menganggap ia hanya perkara teknis yang boleh diambil dari mana saja termasuk ruhnya sekalipun?
Saya khawatir kesimpulan-kesimpulan tersebut karena kita jarang berinteraksi dengan para ulama, secara langsung maupun melalui karya-karyanya. Kita pikir ulama hanya tahu kaifiyyah shalat dan puasa, sedang dalam hal lain mereka bukan siapa- siapa, tak perlu dianggap.
Hadaanallaahu wa iyyaakum ajma’iin.
Leave a Reply