Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fawaid Fathul Bari

Sesungguhnya Air itu dari Air

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Fawaid Fathul Bari #4
Hadits 1

Al-Hafizh Ibnu Hajar saat menjelaskan tentang makna lafazh إِنَّمَا dari Hadits “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” yang berfaidah hashr (menetapkan perkara yang disebutkan setelah lafazh tersebut dan meniadakan selainnya), beliau mengajukan berbagai argumentasi. Di antaranya, beliau menyatakan:

وأوضح من هذا حديث: “إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ” فإن الصحابة الذين ذهبوا إليه لم يعارضهم الجمهور في فهم الحصر منه، وإنما عارضهم في الحكم من أدلة أخرى كحديث “إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ”.

Artinya: “Dan bukti yang lebih jelas adalah Hadits: ‘Sesungguhnya air itu dari air’. Para shahabat yang berpendapat ini (bahwa jimak hanya wajib mandi jika keluar air mani), tidak dibantah oleh mayoritas ulama dari sisi pemahaman hashr (dari lafazh innamaa), tapi mereka membantah hukumnya berdasarkan dalil-dalil lain, seperti Hadits ‘Jika dua alat kelamin bertemu’.”

Yang disampaikan oleh Al-Hafizh ini adalah tentang ikhtilaf di kalangan shahabat, tentang orang yang jimak namun tidak keluar air mani, apakah tetap wajib mandi atau tidak. Sebagian shahabat radhiyallahu ‘anhum berpendapat tidak wajib mandi, dengan dalil Hadits Nabi: “إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ” (Sesungguhnya air itu dari air), dan lafazh إِنَّمَا itu menunjukkan hashr, yang berarti “air” (baca: mandi) hanya wajib ketika keluar “air” (baca: air mani).

Dan pemahaman sebagian shahabat ini tentang makna hashr dari lafazh “innamaa” tersebut, tidak dibantah oleh shahabat lainnya dan para ulama setelah mereka. Mereka hanya menolak kesimpulan hukumnya, karena ada Hadits lain, yaitu Hadits: “إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ” (Jika dua alat kelamin bertemu), yang menunjukkan bahwa jimak tetap mewajibkan mandi, selama alat kelamin laki-laki sudah masuk ke dalam alat kelamin perempuan, meskipun tidak keluar air mani.

Perlu dicatat, ikhtilaf ini hanya terjadi di masa awal Islam, dan di masa berikutnya para ulama sepakat bahwa jimak mewajibkan mandi meski tanpa keluar air mani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

ومعنى الحديث أن إيجاب الغسل لا يتوقف على نزول المني بل متى غابت الحشفة في الفرج وجب الغسل على الرجل والمرأة، وهذا لا خلاف فيه اليوم، وقد كان فيه خلاف لبعض الصحابة ومن بعدهم ، ثم انعقد الإجماع على ما ذكرناه

Artinya: “Dan makna Hadits tersebut, bahwa kewajiban mandi tidak tergantung pada keluarnya air mani, tapi selama kepala zakar masuk ke dalam kemaluan, maka wajib mandi bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama saat ini. Di masa lalu terdapat khilaf tentang hal ini dari sebagian shahabat dan ulama setelah mereka, namun kemudian berlaku ijma’ tentang hal ini.”

Wallahu a’lam.

Rujukan:
1. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Penerbit Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, Damaskus, Tahun Terbit 1434 H (2013 M), Juz 1, Hlm. 24-25.
2. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Penerbit Muassasah Qurthubah, Kairo, Tahun Terbit 1414 H (1994 M), Juz 4, Hlm. 54.

 

Leave a Reply