Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Sikap Terhadap Bank Syariah

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ada beberapa sikap orang terhadap bank syariah, yaitu:

1. Bersikap wara’, sehingga tidak mau punya rekening bank, syariah apalagi konvensional, dan tidak mau berurusan dengan perbankan sama sekali, karena khawatir terhadap syubhat.

Ini sikap yang baik, paling hati-hati dan insyaallah paling selamat. Tapi sekaligus sangat sulit, dan bisa melahirkan masyaqqah bagi banyak orang. Sehingga ia tidak tepat difatwakan untuk orang banyak. Hanya orang-orang tertentu yang bisa konsisten melakukannya.

2. Memilih menggunakan bank syariah untuk semua urusannya berkaitan dengan perbankan, dan meninggalkan bank konvensional yang ribawi.

Ini sikap yang baik, sesuai fatwa mayoritas ulama kontemporer, dan hal yang paling mungkin dilakukan oleh banyak orang, karena bagi mereka memiliki rekening bank adalah hal yang mendekati dharuri. Dan sikap meninggalkan bank konvensional adalah sikap yang tepat, karena substitusi yang setara (yaitu: bank syariah) sudah ada dan umumnya mudah diakses.

3. Memilih tetap menggunakan bank konvensional, dengan alasan sulit menggunakan bank syariah.

Untuk kebanyakan kondisi, ini alasan mengada-ada, karena memiliki rekening bank syariah di Indonesia saat ini sangat mudah. Dan bagi mereka, tidak ada uzur untuk menggunakan bank konvensional ribawi.

Uzur mungkin bisa diberikan pada orang yang tinggal di desa, yang di sana hanya ada bank konvensional dan sulit untuk ke kota mengakses bank syariah, sedangkan hajat hidupnya memerlukan akses perbankan. Uzur juga bisa diberikan pada asn atau karyawan swasta pemilik rekening bank konvensional untuk menerima gaji, dan mereka tidak punya wewenang mengubah kebijakan penggajian tersebut. Namun uzur diberikan sesuai kadar keperluannya saja, dan tidak ada uzur jika rekening bank konvensional tersebut dia gunakan untuk hal di luar hajatnya.

4. Menganggap bank konvensional dan bank syariah sama saja, sama-sama halal digunakan, mengikuti fatwa sebagian kecil ulama kontemporer (misalnya: fatwa Dar Ifta Mishriyyah).

Pendapat ini, menurut Al-Qaradhawi adalah pendapat syadz yang tidak layak diikuti. Dan saya bermakmum dengan beliau dalam hal ini. Jadi, kalau ada orang yang berpandangan seperti ini sedang berdiskusi dengan saya, saya perlu memberikan irsyad kepadanya bahwa pendapat ini tidak perlu diikuti.

Namun, pengingkaran terhadap pendapat ini dan orang-orang yang mengikutinya, tidak boleh sama kadarnya dengan pengingkaran terhadap orang yang melakukan kemungkaran yang jelas dan disepakati ulama, seperti zina, riba (di luar tema perbankan konvensional yang diperdebatkan), dan semisalnya.

5. Mengakui bank konvensional itu ribawi, dan menganggap bank syariah itu masih penuh syubhat, kemudian secara amal memilih tetap memakai bank konvensional, bahkan membanggakan sikap tersebut sembari mencibir bank syariah.

Ini sikap paling aneh dan paling memuakkan, dilihat dari beberapa sisi:

(a) Seandainya pun kita terima bahwa bank syariah itu masih syubhat, tetap saja keharaman bank konvensional lebih jelas, sehingga kalau terpaksa memilih salah satunya, harusnya yang dipilih adalah yang lebih sedikit keburukannya.

Ibaratnya, kita sedang lapar (tidak sampai idhthirar), dan di hadapan kita ada dua makanan. Yang pertama, babi panggang. Yang kedua, kambing guling yang dikhawatirkan ada syubhat pada kehalalannya. Kira-kira, jika kita terpaksa harus makan salah satunya, mana yang akan kita makan?

(b) Beberapa akad dalam bank syariah yang dianggap syubhat, sebagiannya karena keawaman mereka sendiri, semisal menganggap akad jual beli murabahah pada bank syariah adalah akad pinjaman uang berbunga, padahal dua hal ini beda jauh.

Misal lain, dia mengikuti fatwa seorang syaikh atau ustadz yang menyatakan haramnya satu akad muamalah, sedangkan bank syariah melakukan akad itu mengikuti fatwa DSN MUI yang menyatakan kebolehannya. Pada kondisi ini, paling jauh ini bisa kita katakan sebagai ikhtilaf ulama, dan tidak tepat diisukan ke publik sebagai syubhat dalam perbankan syariah.

(c) Dia tidak paham fiqih pertimbangan, yaitu kaidah fiqih saat harus menghadapi dua pilihan yang sama-sama maslahat namun hanya bisa memilih salah satunya, atau menghadapi dua hal yang sama-sama mafsadat namun salah satunya harus diambil. Pada kondisi pertama, yang diambil adalah yang paling maslahat. Pada kondisi kedua, yang ditinggalkan adalah yang paling mafsadat, dan mengambil yang mafsadatnya lebih ringan.

Jadi, sikapnya memilih bank konvensional tanpa uzur, dan meninggalkan bahkan mencibir bank syariah, adalah sikap yang menunjukkan kebodohannya dalam agama.

(d) Berdirinya bank syariah atau bank Islam, adalah upaya para ulama dan aktivis Islam di berbagai negara, untuk melawan hegemoni perbankan konvensional yang ribawi. Namun melihat fakta, perlawanan ini perlu dilakukan secara bertahap, tidak semudah membalik telapak tangan.

Karena itu, jika pun ada kekeliruan dan syubhat dalam sebagian akad maupun praktik bank syariah, perlu dipahami dalam konteks ini. Kalau kita mampu, silakan lakukan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak mampu, minimal kita tetap memberikan support, bukan malah nyinyir.

Sikap memilih bank konvensional dan meninggalkan bank syariah bahkan mencibirnya, menunjukkan orang tersebut tidak bisa menempatkan al-wala dan al-bara dengan baik, sekaligus tidak mendukung upaya penerapan syariah yang dilakukan dan diupayakan oleh saudara muslimnya.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply