Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fawaid Min Ihya 'Ulumiddin

Syarat Kebolehan Berdebat Dalam Urusan Agama #1

Hand of man holding shouting by megaphone

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Perdebatan dalam agama seringkali mendatangkan keburukan dan merupakan sumber dari seluruh akhlak yang tercela di sisi Allah ta’ala dan disenangi oleh musuh Allah, yaitu Iblis. Ini karena perdebatan seringkali dilandasi oleh keinginan untuk menang dan menjatuhkan lawan debat, serta untuk mendapatkan kehormatan dan pengakuan di tengah-tengah manusia.

Adapun, jika perdebatan ditujukan untuk mencari kebenaran dan ta’awun dalam meraih ilmu, sebagaimana yang berlaku di kalangan Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan para imam rahimahumullah, ia merupakan sesuatu yang baik. Namun perdebatan untuk meraih al-haq yang mendatangkan kebaikan ini memiliki syarat, yaitu:

1. Tidak boleh menyibukkan diri dengan perdebatan, yang ia merupakan fardhu kifayah, sedangkan ia belum memenuhi kewajiban fardhu ‘ainnya.
Jika seseorang menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, sampai-sampai ia mengabaikan hal yang fardhu ‘ain, dan ia mengklaim bahwa itu untuk meraih kebenaran, ia sebenarnya seorang pendusta.

2. Jika ada fardhu kifayah lain yang lebih urgen dari perdebatan, kemudian ia sibuk dengan perdebatan dan mengabaikan hal yang lebih urgen tersebut, ia telah jatuh pada perbuatan dosa.
Ini seperti, seseorang yang melihat ada sekelompok orang sedang kehausan dan hampir jatuh pada kematian, dan tidak ada orang yang menolong mereka, sedangkan ia bisa menolong mereka dengan membawakan air dan memberi minum mereka, namun ia malah menyibukkan diri mempelajari bekam dan mengklaim bahwa hal itu termasuk fardhu kifayah. Sikapnya ini jelas keliru, karena ia meninggalkan hal yang jauh lebih urgen.

3. Pihak yang berdebat haruslah seorang mujtahid, yang bisa berfatwa secara mandiri, tidak terikat dengan salah satu madzhab aimmah mujtahidin. Hal ini agar, jika ia mendapatkan kekeliruan dalam pendapat Asy-Syafi’i misalnya dan kebenaran ada pada pendapat Abu Hanifah, ia bisa meninggalkan pendapat Asy-Syafi’i yang sebelumnya disetujuinya dan beralih pada pendapat Abu Hanifah yang lebih dekat dengan kebenaran.
Jika ia terikat dengan madzhab imamnya dan tidak bisa keluar darinya, dan hanya boleh berfatwa sesuai madzhab imamnya, lalu untuk apa ia berdebat? Apa gunanya perdebatan, jika setelah ia tahu kelemahan pendapat imamnya, ia juga tak boleh meninggalkan pendapat tersebut?

(Bersambung)

Wallahu a’lam.

Rujukan: Ihya ‘Ulumiddin, karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Juz 1, Halaman 117-124, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus.

Leave a Reply