Oleh: Muhammad Abduh Negara
Para ulama salaf, meski mereka saling berbeda pendapat dalam banyak persoalan, namun itu sama sekali tak membuat mereka memusuhi pihak yang berbeda, atau tak mau beristifadah (mengambil faidah ilmu) dari mereka dan mengakui ketinggian ilmu mereka.
Imam Asy-Syafi’i berkata tentang Imam Malik bin Anas: “Malik bin Anas adalah guruku, dan darinya aku mengambil ilmu.” Dalam kesempatan berbeda, beliau juga menyatakan: “Jika disebutkan para ulama, maka Malik adalah bintangnya.” (Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, dalam “Al-Intiqa Fi Fadhail Ats-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqaha”, hlm. 23, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah)
Masih dalam “Al-Intiqa”, karya Ibnu ‘Abdil Barr, tentang Abu Hanifah, Asy-Syafi’i berkata: “Siapa saja yang ingin mendalami Fiqih, maka ia berutang budi dengan Abu Hanifah.” (Hlm. 136)
‘Abdullah bin Ahmad bertanya kepada ayahnya (Ahmad bin Hanbal) tentang Asy-Syafi’i: “Asy-Syafi’i itu siapa, saya dengar ayah banyak berdoa untuknya?” Imam Ahmad menjawab: “Wahai anakku, Asy-Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi manusia, lihatlah dua hal ini, apakah ada yang layak menggantikannya?” (“Al-Intiqa”, hlm. 74-75)
Banyak lagi riwayat lainnya, yang menunjukkan para ulama salaf panutan umat ini, saling memuji kepada sesama ulama, meski dalam banyak persoalan, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Hal ini karena yang mereka tuju dari perbedaan pendapat itu adalah sampainya mereka kepada kebenaran, bukan untuk menang-menangan, yang hanya mengeraskan hati. Mereka sendiri menyatakan, “Pendapatku benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan pendapat selainku salah, tapi mengandung kemungkinan benar.” Ini bukan hanya mereka ucapkan dengan lisan mereka, tapi mereka tunjukkan dalam praktik kehidupan mereka. (Silakan baca: “Al-Asas Fi Fiqh Al-Khilaf”, karya Abu Umamah Nawwar bin Asy-Syali, hlm. 247 dan seterusnya, Dar As-Salam)
Para ulama juga membangun kaidah, “laa inkara fi masail al-ijtihad” (tidak ada pengingkaran dalam persoalan ijtihad). Artinya, dalam persoalan-persoalan ijtihad, yang tidak terdapat dalil yang shahih sekaligus sharih (jelas) yang menunjukkan hukumnya, atau tidak ada ijma’ dalam hal itu, maka perbedaan pendapat dalam persoalan tersebut dibolehkan, dan tidak boleh ada pengingkaran dalam persoalan tersebut. Maksud tidak boleh ada pengingkaran di sini bukan berarti tidak boleh ada diskusi untuk melihat pendapat mana yang lebih kuat. Diskusi boleh, namun dengan kesadaran bahwa yang diperdebatkan ini bukanlah sebuah kemungkaran, yang berlaku “nahi munkar” padanya. (Silakan baca: “Al-Khilaf, Anwa’uhu wa Dhawabithuhu wa Kayfiyatut Ta’amul Ma’ahu”, hlm. 99-100, Dar Ibn Al-Jauzi)
Ini dari sisi para ulama itu sendiri, atau minimal para pelajar ilmu syar’i yang serius menuntut ilmu. Adapun untuk kalangan awam, lebih jelas lagi, mereka tak memiliki hak untuk berdebat. Kewajiban mereka hanyalah mengikuti pendapat salah satu ulama yang mereka percaya kapasitas ilmunya, setelah itu diamalkan. Jika mereka ikut berdebat, apalagi mengkritik ulama, mereka telah jatuh pada keburukan. Berbicara tanpa ilmu, sekaligus tak punya adab terhadap ulama.
An-Nawawi berkata: “Jika persoalannya terkait bahasan yang mendalam tentang perkataan dan perbuatan, dan semua yang terkait dengan ijtihad, orang awam tidak boleh masuk ke dalam bahasan ini, dan tak boleh bagi mereka melakukan pengingkaran terhadapnya. Ini adalah hak ulama. Kemudian, ulama hanya melakukan pengingkaran terhadap hal yang disepakati. Adapun perkara yang diperselisihkan ulama, tidak ada pengingkaran padanya.” (“Syarh Shahih Muslim”, Juz 2, hlm. 23, Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi)
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, wajib wudhu jika seseorang keluar darah dari hidungnya atau karena bekam. Beliau ditanya, “Jika imam shalat keluar darah dari tubuhnya dan ia tidak berwudhu karena itu, apakah boleh shalat di belakangnya?”, beliau jawab, “Bagaimana bisa aku tidak mau shalat di belakang Imam Malik dan Sa’id bin Al-Musayyib?”
Dua orang imam ini, yaitu Malik bin Anas dan Sa’id bin Al-Musayyib, berpendapat tak perlu wudhu jika keluar darah dari tubuh. Sedangkan Ahmad bin Hanbal berpendapat sebaliknya. Tapi hal itu tidak membuat Imam Ahmad menolak menjadi makmum mereka. Meski fakta ini tak pernah terjadi, karena masa hidup Imam Ahmad berbeda dengan Imam Malik, apalagi dengan Sa’id bin Al-Musayyib yang merupakan Tabi’in senior, tapi ini memberikan pelajaran adab yang sangat penting. Berbeda boleh, namun tetap saling menghormati, dan tetap menganggap pihak yang berbeda sebagai muslim yang memiliki hak dan kewajiban atas sesama muslim, termasuk kebolehan shalat di belakang mereka.
Imam Asy-Syafi’i pernah shalat Shubuh di masjid dekat kuburan Abu Hanifah, dan beliau tidak membaca doa qunut, padahal itu sunnah menurut beliau. Beliau lakukan itu karena penghormatan kepada Abu Hanifah.
Abu Hanifah dan murid-muridnya, demikian juga Asy-Syafi’i dan para ulama lainnya, saat di Madinah, menjadi makmum shalat di belakang pengikut Madzhab Maliki dan lainnya, yang tidak membaca basmalah baik secara sirr (pelan) maupun jahr (nyaring).
Cerita Imam Ahmad dan setelahnya di atas, disebutkan oleh Syah Waliyyullah Ad-Dihlawi, di kitabnya “Hujjatullah Al-Balighah” (Juz 1, hlm. 270, Dar Al-Jiil).
Ini adalah teladan para ulama salaf. Perbedaan boleh ada, dan niscaya memang ada, namun itu bukan penghalang untuk bersatu, untuk shalat di masjid yang sama. Bukan penghalang untuk mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah. Bukan penghalang untuk bekerja sama dan berjuang bersama, pada hal-hal yang disepakati.
Tak selayaknya, hanya karena perbedaan pendapat pada sebagian persoalan, kemudian kita tak menganggap saudara kita sebagai muslim yang punya hak atas kita. Atau menganggap ia adalah sosok yang harus dijauhi sejauh-jauhnya. Atau menumbuhkan permusuhan kepada mereka, padahal musuh-musuh Islam yang sebenarnya, telah siap untuk menerkam kita.
Padahal, seandainya ia benar-benar salah dan melakukan hal yang menyimpang menurut seluruh ulama, selama ia masih muslim, ia masih punya hak atas kita, dan masih ada hak loyalitas padanya, sebesar keislaman dan kebaikannya. Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika berkumpul pada seorang individu kebaikan dan keburukan, taat dan kemaksiatan, Sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapat loyalitas dan pahala sesuai dengan kebaikan yang ada padanya, sekaligus ia layak mendapatkan disloyalitas dan sanksi sesuai dengan keburukan yang ia lakukan.” (“Majmu’ Al-Fatawa”, Juz 28, hlm. 209, Mujamma’ Al-Malik Fahd)
Pada orang yang terjatuh pada kesalahan dan penyimpangan yang disepakati ulama, tetap ada loyalitas padanya. Tentu, pada perkara yang diperselisihkan oleh ulama, yang masing-masing pihak sedang berusaha mencapai kebenaran dan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah semampu mereka, lebih layak lagi diberi loyalitas dan kecintaan.
Leave a Reply