Oleh: Muhammad Abduh Negara
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam “Al-Umm” berkata: “Rukhshah hanya berlaku bagi orang yang tidak sedang melakukan maksiat. Bukankah Allah ta’ala berfirman: فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ (Siapa saja yang terpaksa memakannya, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya) (QS. Al-Baqarah [2]: 173).”
Al-Qarafi rahimahullah berkata: “Pemberian rukhshah bagi pelaku maksiat akan menjadi jalan baginya untuk terus melakukan maksiat tersebut, karena ada kelapangan baginya dengan rukhshah tersebut.”
Karena itu, mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) menyatakan, rukhshah tidak berlaku bagi maksiat (الرخص لا تناط بالمعاصي).
Berdasarkan hal ini, perempuan yang bermaksiat dengan safarnya, karena -misalnya- dia safar tanpa izin suaminya, tidak boleh menjama’ dan mengqashar shalat selama safar.
Demikian juga, tidak boleh mengambil rukhshah berupa jama’ dan qashar shalat, serta berbuka di siang hari Ramadhan, bagi orang yang safar ke negeri kafir dengan tujuan rekreasi, menurut ulama yang mengharamkannya.
Bagi ulama yang mengharamkan, safar ke negeri kafir dengan tujuan rekreasi adalah sebuah kemaksiatan, karena itu, dia tidak berhak mengambil rukhshah atau keringanan syariat.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Fi Kanz Ar-Raghibin Li Al-Mahalli, karya Dr. Labib Najib ‘Abdullah, Halaman 94-97, Penerbit Dar An-Nafais, Beirut, Libanon.
Leave a Reply