Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ahli agama, yang mengusung ilmu syar’i, khususnya para ahli ijtihad dan fuqaha, harus terlibat dalam berbagai persoalan kehidupan, baik persoalan agama (dalam arti ibadah mahdhah dan semisalnya), maupun persoalan dunia.
Islam menolak sekularisme yang menganggap wilayah publik itu wilayah yang bebas agama, wilayah yang tak boleh dicampuri agama. Islam menolak itu. Islam adalah jalan hidup bagi manusia, dalam semua urusan kehidupannya, privat maupun publik, zhahir maupun bathin.
Secara praktis, syumuliyah Islam ini bisa dilihat di kitab-kitab fiqih, yang ternyata memuat berbagai persoalan dalam berbagai wilayah kehidupan kita, bukan hanya persoalan shalat dan puasa.
***
Namun, keterlibatan ahli agama ini tentu tak boleh melampaui batasnya. Setiap bidang ada ahlinya, dan ilmu mereka dihargai dalam Islam. Islam yang dipahami secara benar, tak akan bertentangan dengan sains yang telah terbukti kevalidannya.
Karena itu, dalam konteks penyerbukan kurma, Nabi menyatakan “antum a’lamu bi umuuri dunyaakum” (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian). Pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tentu bukan pembenaran atas sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan.
Pernyataan beliau itu, lebih pada menunjukkan konsep yang benar, bahwa dalam urusan-urusan yang sifatnya teknis, sudah ada ahlinya masing-masing. Karena itu, mari kita serahkan pada ahlinya.
Dalam urusan teknis pertanian dan perkebunan, ada ahlinya. Dalam urusan penelitian bidang kesehatan, ada ahlinya. Dalam urusan teknis administrasi perusahaan bahkan negara, ada ahlinya. Serahkan urusan itu pada ahlinya.
Lalu, apa tugas ahli agama? Tugas ahli agama adalah membimbing, agar kerja semua ahli tersebut tak menabrak pakem Syariah, dan agar hasil kerja mereka tersebut ditujukan untuk kemaslahatan Islam, kaum muslimin, serta kemanusiaan secara umum.
Sebagai contoh, ahli agama perlu membimbing dan menjelaskan bahan apa saja yang layak dijadikan obat, dan apa yang harus dihindari. Mereka juga perlu meluruskan aqidah umat, bahwa penyembuh yang sejati adalah Allah ta’ala, agar umat Islam tak kehilangan iman dan sikap tawakkalnya kepada Allah. Namun, dalam teknis pengolahan obat, tentu ahli fiqih tak perlu terlibat, kecuali jika ia ahli fiqih sekaligus ahli farmasi.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply