Oleh: Muhammad Abduh Negara
Al-Qaradhawi berkata:
“Tidak ragu lagi, takhrij Hadits yang dilakukan oleh al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani hafizhahullah untuk Hadits-Hadits yang dimuat dalam kitab saya “Al-Halal wa al-Haram”, merupakan bentuk penghormatan bagi kitab ini dan penulisnya. Para ulama Hadits sejak dulu, tidak mentakhrij Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab yang tidak penting atau tidak bermanfaat. Mereka hanya mentakhrij Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab yang memiliki nilai dan bobot ilmiah, serta masyhur di kalangan ulama dan masyarakat umum.”
Di bagian lain, al-Qaradhawi menjelaskan alasan beliau memuat beberapa Hadits dhaif dalam kitab-kitab beliau. Beliau menyatakan:
“Saya kadang menyebutkan sebagian Hadits-Hadits dhaif untuk isti’nas (argumen pendukung atau tambahan, bukan dalil utama), bukan untuk ihtijaj (sebagai hujjah dan dalil utama), juga tidak menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran dalam berdalil.
Sering kali hukum telah ditetapkan melalui dalil-dalil yang lain, baik dari nash-nash yang shahih maupun kaidah-kaidah pokok dalam agama, kemudian disebutkan Hadits dhaif untuk isti’nas. Setahu saya, hal ini tidak dihindari oleh satu pun ulama di masa lalu. Siapa saja yang membaca kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Sang Muhaqqiq Ibn al-Qayyim, akan menemukan banyak hal seperti ini.
Bahkan Imam al-Bukhari sendiri, yang dikenal sangat tegas dalam menolak Hadits dhaif, menyebutkan dalam kitab “al-Jami’ ash-Shahih” beliau sebagian Hadits-Hadits mu’allaq yang dhaif, yaitu yang beliau riwayatkan tanpa lafaz yang menunjukkan kepastian (jazm), seperti perkataan beliau: qiila, ruwiya, yudzkaru, dan lain-lain.”
(Hawla Ahadits Kitab al-Halal wa al-Haram, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, https://www.al-qaradawi.net/node/3902)
Catatan M4N:
1. Di sini, al-Qaradhawi menyebut al-Albani dengan “al-‘Allamah”, dan memasukkannya dalam kategori “Ulama Hadits”. Bisa kita sebut, ini adalah contoh, seorang ulama mengetahui kadar ulama lainnya.
2. Al-‘Allamah Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa beliau memuat Hadits-Hadits dhaif dalam kitab beliau, bukan untuk menjadikannya sebagai dalil utama ketika berhujjah, karena Hadits dhaif memang tidak bisa digunakan untuk itu. Beliau menjadikan Hadits dhaif tersebut, sebagai argumen tambahan dan penguat untuk dalil-dalil utama tersebut, dan hal ini sangat banyak kita temukan dalam kitab-kitab turats yang ditulis oleh para ulama yang punya perhatian terhadap validitas Hadits.
Al-Qaradhawi mencontohkan, bahwa hal ini bisa ditemukan pada berbagai karya Ibnu Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim (dua ulama besar yang banyak menginspirasi al-Qaradhawi dalam fiqih dan manhaj). Bahkan Imam al-Bukhari sendiri, menyebutkan Hadits-Hadits mu’allaq (yang terputus sanadnya, satu atau beberapa rawi, dari awal sanad) dengan lafaz tidak jazm, yang mengindikasikan bahwa itu Hadits dhaif, pada kitab Shahih-nya, untuk menjelaskan fiqih beliau.
3. Perlu dibedakan, antara (1) kitab-kitab yang menyebutkan Hadits-Hadits dhaif, bahkan Hadits palsu, sebagai argumentasi utama atas pendapatnya, dengan (2) kitab-kitab yang memuat Hadits-Hadits dhaif untuk isti’nas. Yang kedua ini, yang merupakan kebiasaan para ulama besar yang ahli dalam fiqih dan Hadits. Sedangkan yang pertama, biasa dilakukan oleh mutafaqqih yang tidak punya perhatian dan keahlian dalam Ilmu Hadits.
Wallahu a’lam.


Leave a Reply