Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada yang bilang, “Belajarlah agama, bukan untuk jadi ustadz, tapi…”
Benarkah hal itu?
Ilmu keislaman atau ilmu syar’i itu ada yang fardhu ‘ain dipelajari, dan ada yang fardhu kifayah. Kalau fardhu ‘ain wajib dipelajari semua mukallaf, mau jadi apapun ia nantinya, apapun aktivitas dan profesinya. Semua mukallaf wajib tahu rukun shalat, hal-hal yang membatalkan puasa, syarat dan rukun jual-beli, dan hal-hal fardhu ‘ain lainnya.
Adapun fiqih dengan pendalaman dalil, ushul fiqih, qawa’id fiqhiyyah, mushthalah hadits, nahwu, sharaf, balaghah, dll, hukumnya fardhu kifayah. Cukup sebagian orang yang mempelajari ilmu-ilmu ini untuk menggugurkan kewajibannya atas umat Islam.
Ilmu-ilmu fardhu kifayah ini dipelajari untuk apa? Untuk dipahami. Belajar itu proses, sedangkan hasil yang ingin dicapai adalah ilmu. Karena itu disebut thalabul ‘ilm. Kalau belajar saja tanpa tujuan, ini cara belajar yang salah.
Setelah memahami ilmu, lalu apa? Ya, diamalkan dan dipraktekkan. Dalam konteks sekian cabang ilmu Syariat yang fardhu kifayah di atas, praktek dan tujuannya adalah untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah secara mendalam, untuk menelaah berbagai turats ulama, untuk memilah mana ilmu mana jahl murakkab, untuk menjadi rujukan agama di tengah umat, dst.
Ringkasnya, kalau belajar agama, tapi tak bertujuan menjadi ustadz (guru agama), lalu ilmu yang rumit-rumit dipelajari itu untuk apa?
Jadi guru agama, tentu tidak untuk mendapatkan dunia, harta, kedudukan dan penghormatan orang lain. Ini tercela. Tapi untuk menghilangkan kejahilan pada diri sendiri dan pada orang lain. Untuk menyebarkan ilmu dan kebenaran. Zakatnya ilmu adalah mengajarkannya.
Jadi guru agama, bukan berarti tak bisa bekerja yang lain. Silakan jadi guru agama sambil berdagang. Jadi guru agama sambil jadi karyawan. Jadi guru agama sambil ngojek. Dll. Tak masalah. Yang penting, ilmu fardhu kifayah yang telah dipelajari, itu diamalkan dan diajarkan. Itulah ilmu yang bermanfaat.
Leave a Reply