Oleh: Muhammad Abduh Negara
Mengapa intuisi, mimpi, ilham, kasyaf, dzauq, dan semisalnya, tidak layak menjadi dalil untuk itsbat dan nafi khabar maupun hukum? Jawabannya, karena ia tidak memiliki standar yang jelas, tidak terukur, tidak mundhabith, dan sangat subyektif.
Bagaimana cara kita memverifikasi bahwa si fulan itu benar bermimpi bertemu Nabi, dan Nabi mengatakan dalam mimpinya ini dan itu. Kita tidak bicara tentang mimpi bertemu Nabi itu diterima dan benar, di kalangan Sunni, tapi tentang verifikasi klaim seseorang bermimpi bertemu Nabi.
Bagaimana cara kita memastikan, seseorang yang mengaku mendapat ilham, itu benar dari Allah dan bukan dari syaithan? Allah memang bisa memberi ilham kepada hamba-hamba-Nya yang Dia pilih. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara kita memverifikasinya?
Penetapan khabar yang harus diterima atau ditolak, ada kaidah-kaidahnya dalam ilmu riwayat dan ushul fiqih, dengan kaidah yang mundhabit, terstandarisasi dan obyektif. Siapapun yang memiliki keahlian, bisa memverifikasinya.
Demikian juga hukum, ada kaidah-kaidah dalam ushul fiqih, yang bisa digunakan untuk menetapkannya, dan bisa diuji oleh siapapun yang memiliki keahlian.
Beginilah umat Islam menetapkan khabar maupun hukum, sejak era awal Islam hingga saat ini. Inilah kerja para ulama aqidah, fuqaha, ushuliyyun dan muhadditsun. Dan dengan metode inilah, ajaran Islam bisa kokoh dan tidak terombang-ambing sekehendak hati para tokoh agama, seperti yang terjadi pada umat-umat Nabi sebelumnya.
Ajaran para Nabi sebelumnya, bebas diutak-atik oleh ahbar dan ruhban mereka, tanpa bisa diverifikasi oleh yang lain. Kata mereka, agama begini dan begitu, kemudian umatnya “dipaksa” untuk menerimanya melalui indoktrinasi. Tidak boleh dipertanyakan, karena para tokoh ini mendapatkan ilham dan memiliki dzauq yang pasti kebenarannya. Akhirnya, ajaran mereka berubah dari zaman ke zaman, tanpa mampu diverifikasi lagi kebenarannya.
Apakah kita mau, diin Islam diperlakukan seperti itu? Mengikuti klaim mimpi, ilham maupun dzauq, lalu membantah Hadits shahih, sekaligus menafikan dalil naqli dan ‘aqli yang sudah teruji kebenarannya!?
Leave a Reply