Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada yang bertanya:
“Ada kalimat yang diutarakan seorang ustad; Mau kita bekerja jungkir balik, kalau rezekinya 500, ya, tetap akan segitu. Karena rezeki sudah ditetapkan.
Jadi, saya mikirnya, terus letak usahanya di mana, Ustad? Padahal, saya kerja niatnya buat merubah nasib. Tapi, nasib katanya sudah ditetapkan.
Faidahnya, Ust.”
Saya tanggapi:
Semua hal, termasuk rezeki, memang sudah ditaqdirkan oleh Allah. Namun dalam bab taqdir ini, yang dituntut pada kita adalah: (1) mengimaninya, (2) bisa bersabar, jika ada sesuatu yang luput dari kita atau tidak kita dapatkan.
Namun semua ketetapan atau taqdir Allah tersebut, adalah perkara ghaib atau rahasia, yang tidak kita ketahui, kecuali setelah ia terjadi, kita juga tidak dituntut untuk mengetahui sebelum terjadinya, dan memang tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali melalui wahyu.
Dan keimanan terhadap taqdir ini, sama sekali tidak menafikan amal, termasuk bekerja untuk dapat uang yang cukup. Jika misalnya, kita dapat pekerjaan di satu perusahaan dengan total gaji sebesar 3 juta per bulan, lalu setahun kemudian kita ingin resign karena dapat kesempatan kerja di tempat lain dengan gaji 10 juta per bulan, maka pilihan kita untuk resign ini dengan harapan dapat gaji lebih besar, sama sekali tidak bertentangan dengan keimanan terhadap taqdir.

Leave a Reply