Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Boleh Melakukan Wasilah yang Haram Demi Tujuan yang Masyru’

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam membolehkan melakukan perkara wasilah yang haram, demi mencapai tujuan yang masyru’, dengan ketentuan kemaslahatan tercapainya tujuan yang disyariatkan tersebut lebih besar dibandingkan mafsadat dari keharaman wasilahnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh izin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun binti ‘Utbah yang mengadukan sikap pelit suaminya yang tidak cukup memberikan nafkah, untuk mengambil harta suaminya sesuai kecukupan nafkahnya dan anaknya tanpa pemberitahuan lebih dulu pada suaminya.

… … … … …

Di status sebelumnya, saya memuat satu kaidah yang saya dapatkan dari kitab “Al-Mashalih Wa Al-Wasail Min Kitab Al-Qawa’id Al-Kubra”, yang berasal dari disertasi doktoral karya Dr. Muhammad Aqshari, meneliti kitab “Al-Qawa’id Al-Kubra” karya Sulthan Al-‘Ulama Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam.

Kaidah tersebut menyatakan bahwa boleh melakukan perkara wasilah yang haram, demi mencapai tujuan yang masyru’, dengan ketentuan kemaslahatan tercapainya tujuan yang disyariatkan tersebut lebih besar dibandingkan mafsadat dari keharaman wasilahnya. Kemudian dicontohkan salah satu dasar dari kaidah ini, yaitu pernyataan Nabi kepada Hindun bin ‘Utbah, “Ambillah (dari harta suamimu) yang mencukupi nafkahmu dan anakmu secara ma’ruf.”

Kemudian ada yang mengkritisi bahwa contoh tersebut tampaknya tidak tepat digunakan sebagai contoh kaidah, karena harta suami itu terdapat hak istri di dalamnya, sehingga itu bukan hal yang haram. Kemudian saya tanggapi, bahwa sepertinya Hadits tersebut tetap layak menjadi contoh atau asal dari kaidah, karena pada dasarnya seseorang tidak boleh melakukan tasharruf pada harta orang lain tanpa seizin pemiliknya, dan dalam hal ini harta suami adalah milik si suami sehingga istri yang mau menggunakannya tetap perlu izin suami, namun karena ada tujuan yang masyru’ maka Nabi mengizinkan Hindun mengambilnya tanpa izin suami.

Saya kemudian mengambil perbandingan dengan kasus akad salam. Akad salam ini, kata para ulama, jika menggunakan qiyas harusnya haram, karena ia akad jual beli sesuatu yang belum dimiliki dan itu tidak boleh hukumnya. Namun kemudian Nabi mengizinkannya karena orang-orang berhajat dengan akad tersebut, unsur jahalahnya bisa dihilangkan dengan disifatinya barang yang ditransaksikan, dan tidak ada unsur kezaliman di dalamnya. Nah yang perlu dilihat bukan “hukum syar’i final”-nya yang memang boleh berdasarkan Hadits Nabi, tapi dari sisi penalaran fiqihnya sejak awal. Dan kasus ini mirip dari sisi penalaran fiqihnya dengan kasus Hindun di atas.

Kemudian ditimpali oleh penanggap bahwa jika seperti itu, maka akan ada yang menerapkannya sampai membolehkan mengambil riba demi mendapatkan kekayaan secara cepat, atau melakukan kecurangan untuk mendapatkan nilai yang tinggi demi membahagiakan orangtua. Saya katakan, dua contoh yang dia sebutkan itu tidak tepat karena bertentangan dengan dhawabith dari kaidah yang saya tuliskan di status. Pada kasus mengambil riba, mafsadah riba jauh lebih besar dibandingkan maslahat kekayaan dalam kacamata syariat. Demikian juga, maslahat membahagiakan orangtua bisa dicapai tanpa masyaqqah, tanpa harus melakukan kecurangan dalam ujian.

Perlu saya tekankan di sini, dhawabithnya sudah saya sebutkan sejak awal, yaitu “Kemaslahatan tercapainya tujuan yang disyariatkan tersebut lebih besar dibandingkan mafsadat dari keharaman wasilahnya.” Jadi ada pertimbangan maslahat mafsadat di sini, yang hal tersebut sudah biasa diulas oleh para ulama. Hal ini mirip dengan kaidah semisal, “yukhtaru ahwanu asy-syarrayn”, atau “idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaffihima”, atau “adh-dharar al-asyadd yuzalu bi adh-dharar al-akhaff”, dan semisalnya.

Sangat disayangkan, kemudian penanggap mengajukan pertanyaan pancingan, “Berarti boleh menggunakan musik untuk wasilah dakwah?” Ini pertanyaan pancingan, karena dari latar belakang penangggap jelas dia adalah orang yang meyakini keharaman musik dan tidak mengakui adanya khilaf dalam hal ini. Dan pertanyaan ini juga sudah terlalu jauh dari pembahasan awal, yang hanya menyoal Hadits Hindun yang digunakan sebagai dasar dan contoh penerapan kaidah yang saya tulis. Pertanyaan tentang hukum musik dan hukum menjadikan musik sebagai wasilah dakwah, tentu akan memancing perdebatan panjang dan ke mana-mana.

Kronologi ini saya tulis, karena saya sudah tidak tertarik bertukar pikiran dengan yang bersangkutan, karena dia terlalu ‘bernafsu’ memberikan radd, tanpa berusaha memahami argumentasi dan dhawabith yang sudah saya sebutkan sejak awal. Saya sendiri pun kurang tahu bagaimana pandangannya tentang bab ini secara umum, apakah dia menolak kaidah ini meskipun dengan dhawabith yang ada atau bagaimana. Tapi ya sudahlah.

Sekalian saya mau mengeluhkan facebook yang mengizinkan orang di luar daftar pertemanan saya untuk berkomentar di status saya. Padahal saya lihat di pengaturan, sudah saya atur agar hanya “teman” saja yang bisa berkomentar. Kasus ini mirip dengan kasus akun saya yang satunya, yang sedang saya non aktifkan, padahal akun saya yang ini tidak pernah saya aktifkan mode profesional.

Leave a Reply