Oleh: Muhammad Abduh Negara
Kalam (termasuk qaul dan kalimah), digunakan untuk kalam lisan, yang disebut dengan lafazh, juga digunakan untuk kalam nafsani, yaitu makna yang inheren dalam diri (bukan lafazh). Para ulama berbeda pendapat, ada yang menyatakan bahwa kalam itu musytarak untuk kedua makna tersebut (lisan dan nafsani), ada juga yang menyatakan bahwa ia haqiqah pada lisan dan majaz pada nafsani, dan ada juga pendapat lainnya.
Di antara persoalan fiqih yang lahir dari bahasan ini adalah, ikhtilaf ulama Syafi’iyyah dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang seorang yang sedang puasa, lalu ada yang mencaci makinya, kata Nabi: فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ (Hendaknya dia mengatakan, ‘Saya sedang puasa’). Syafi’iyyah berbeda pendapat, perkataan orang ini dengan hati atau dengan lisannya.
Ada dua wajh (pendapat) dalam hal ini. Ar-Rafi’i menetapkan pendapat yang pertama, yaitu dia berkata dalam hatinya, agar dia bisa menahan diri dari membalas perbuatan orang yang mencaci makinya tersebut. Mengucapkan secara lisan malah akan membuatnya menampakkan ibadah yang dia lakukan, dan itu riya.
Sedangkan menurut an-Nawawi dalam “al-Adzkar” dan “Lughat at-Tanbih”, pendapat yang azhhar (yang paling kuat), dia mengatakannya dengan lisan. Dalam “Syarh al-Muhadzdzab”, beliau mengatakan, “Itu yang paling kuat”. Beliau juga menyatakan, jika menggabungkan keduanya (lisan dan hati), maka itu baik. Dan dianjurkan mengulang ucapan tersebut dua sampai tiga kali, karena itu lebih bisa menahan orang lain untuk tidak mencaci makinya.
Ar-Ruyani dalam “al-Bahr” menghikayatkan satu wajh lagi, dan beliau menganggapnya bagus, yaitu jika orang itu sedang puasa Ramadhan, maka dia mengatakannya dengan lisan, dan jika puasa sunnah, maka dengan hati.
(At-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul, Jamaluddin al-Isnawi)
Catatan M4N:
Ini adalah salah satu contoh pengaruh ilmu kalam dan masail kalamiyyah dalam persoalan fiqih dan ushul fiqih.
Leave a Reply